KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah yang maha kuasa karena atas
rahmat dan karunianya kita dapat mengenal ilmu, pengetahuan, tidak lupa kita
haturkan shalawat beserta salam atas junjungan alam Nabi besar kita yaitu nabi
Muhammad saw. Dan kami mengucapkan terimakasih kepada ibu dosen yang telah
mengajari kami ilmu yang sangat banyak, berkat ilmu itu juga kami mampu
menyelesaikan makalah ini pada waktunya.
Dalam menyusun
makalah ini, kami menyadari masih banyak kekurangan karena
keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan makalah kami selanjutnya.
Bandar Lampung,
Maret 2019
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bayi baru lahir atau neonatus meliputi
umur 0-28 hari. Kehidupan pada masa neonatus ini sangat rawan, karena
memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di luar kandungan dapat hidup
sebaik-baiknya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kesakitan dan angka
kematian neonatus. Diperkirakan 2/3 kematian bayi di bawah umur satu
tahun terjadi pada masa neonatus. Peralihan dari kehidupan intrauterine ke
ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan biokimia dan fungsi.
Bidan sebagai tenaga kesehatan harus
memiliki kesiapan untuk merujuk ibu atau bayi ke fasilitas kesehatan rujukan
secara optimal dan tepat waktu jika menghadapi penyulit. Jika bidan lemah atau
lalai dalam melakukannya, akan berakibat fatal bagi keselamatan ibu dan bayi.
B.
Rumusan Masalah
1. Apaitu neonatus dengan resiko tinggi?
2. Apa saja kategori neonatus dengan resiko tinggi?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu neonatus resiko tinggi
2. Untuk mengetahui apa saja yang termasuk kategori
neonatus resiko tinggi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Neonatus dengan resiko tinggi
Bayi baru lahir atau neonatus meliputi
umur 0-28 hari. Kehidupan pada masa neonatus ini sangat rawan, karena
memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di luar kandungan dapat hidup
sebaik-baiknya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kesakitan dan angka
kematian neonatus. Diperkirakan 2/3 kematian bayi di bawah umur satu
tahun terjadi pada masa neonatus. Peralihan dari kehidupan intrauterine ke
ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan biokimia dan fungsi.
B.
Beberapa keadaan bayi baru lahir dengan resiko tinggi:
1. Sindroma Gawat Napas
Kegawatan
pernapasan adalah keadaan kekurangan oksigen yang terjadi dalam jangka waktu
relatif lama sehingga mengaktifkan metabolism anaerob yang menghasilkan asam
laktat. Apabila keadaan asidosis memburuk dan terjadi penurunan aliran darah ke
otak maka akan terjadi kerusakan otak dan organ lain. Selanjutnya dapat terjadi
depresi pernapasan yang dimanifestasikan dengan apneu yang memanjang dan bahkan
dapat menyebabkan kematian (Yu dan Monintja, 1997).
Kegawatan pernapasan dapat terjadi pada
bayi aterm maupun pada bayi preterm, yaitu bayi dengan berat lahir cukup maupun
dengan berat lahir rendah (BBLR). Bayi dengan BBLR yang preterm mempunyai
potensi kegawatan lebih besar karena be;um maturnya fungsi organ-organ tubuh.
Kegawatan pernapasan ini menimbulkan
dampak negatif bagi tubuh bayi berupa terjadinya kekurangan oksigen pada tubuh
(hipoksia). Tubuh bayi akan beradaptasi dengan cara mengaktifkan metabolism
anaerob yang menghasilkan asam laktat.
Apabila hipoksia berlanjut, gerakan akan
berhenti, denyut jantung mulai menurun dan tonus otot neuromuskuler berkurang
secara berangsur-angsur. Pada fase ini akan terjadi apneu primer. Apabila
hipoksia berlanjut, denyut jantung terus menurun, tekanan darah akan semakin
menurun, bayi tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak menunjukkan upaya
pernapasan secara spontan. Pada fase iniakan terjadi apneu sekunder dan akan
terjadi kematian bila tidak segera dilakukan resusitasi dengan pernapasan
buatan (Syaifuddin, 2002).
Secara klinis keadaan apneu primer atau
apneu sekunder sulit dibedakan. Hal ini berarti bahwa dalam menghadapi bayi
dengan kondisi apneu, harus dianggap bahwa bayi mengalami apneu sekunderdan
harus segera dilakukan resusitasi.
Resusitasi bertujuan memberikan ventilasi
yang adekuat, pemberian oksigen dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan
oksigen ke otak, jantung dan alat vital lainnya. Tindakan resusitasi mengikuti
tahapan yang dikenal sebagai ABC Resusitasi yaitu:
A : Airway,
mempertahankan saluran napas terbuka melliputi kegiatan meletakkan bayi dengan posisi sedikit ekstensi, menghisap
mulut dan hidung bayi.
B : Breathing, memberikan napas buatan meliputi kegiatan melakukan rangsang taktil untuk memulai
pernapasan, melakukan ventilasi tekanan positif
dengan sungkup dan balon.
C : Circulation, mempertahankan sirkulasi (peredaran) darah meliputi kegiatan mempertahankan sirkulasi
darah dengan cara kompres dada.
Etiologi
Towel dalam
Jumiarni, dkk (1995) menggolongkan penyebab kegagalan pernapasan pada neonatus
yang terdiri dari faktor ibu, faktor plasenta, faktor janin dan faktor
persalinan.
a. Faktor ibu
Meliputi
hipoksia pada ibu, usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun,
gravida empat atau lebih, sosial ekonomi rendah, maupun penyakit pembuluh darah
ibu yang mengganggu pertukaran gas janin seperti hipertensi, penyakit jantung,
diabetes mellitus dan lain-lain.
b. Faktor plasenta
Meliputi
solusio plasenta, perdarahan plasenta, plasenta kecil, plasenta tipis, plasenta
tida menempel pada tempatnya.
c. Faktor janin atau neonates
Meliputi tali
pusat menumbung, tali pusat melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan
jalan lahir, gemeli, prematur, kelainan kongenital pada neonatus dan lain-lain.
d. Faktor persalinan
Meliputi
partus lama, partus dengan tindakan dan lain-lain.
2. Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia
adalah berlebihnya kadar bilirubin dalam darah lebih dari 10 mg% pada minggu
pertama yang mengakibatkan jaundice, warna kuning yang terlihat jelas pada
kulit, mukosa, sklera dan urin, serta organ lain, sedangkan pada bayi normal
kadar bilirubin serum totalnya 5mg%.
Etiologi
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh bermacam-macam
keadaan. Penyebab yang tersering ditemukan disini adalah hemolisis yang timbul
akibat inkompatibilitas golongan darah ABO atau defisiensi enzim G6PD.
Hemolisis ini dapat timbul karena adanya perdarahan tertutup (sefal hematoma,
perdarahan subaponeoratik) atau inkompatilibitas golongan darah Rh. Infeksi
memegang peranan penting dakam terjadinya hiperbilirubinemia:
keadaan ini terutama terjadi pada penderita sepsis dan gastroenteritis. Beberapa
faktor lain yag juga nmerupakan penyebab hiperbilirubinemia adalah hipoksia
atau anoksia, dehidrasi dan asidosis, hipoglikemia dan polisitemia.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat
penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu berlebihan. Halini dapat
ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit,
polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin atau bayi, meningkatnya bilirubin
dari sumber lain atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar
bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim
glukoronil transferase) atau bayi yang menderita gangguan eksresi, misalnya
penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra atau ekstra
hepatik.
Pada derajat tertentu, bilirubin iniakan bersifat toksit
dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin
indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat
ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak ini disebut
kernikterus atau ensefalopati biliaris.
Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak
apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas, berat badan lahir rendah,
hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia dan kelainan susunan saraf pusat yang
terjadi karena trauma atau infeksi.
Klasifikasi
1. Ikterus fisiologis
Ikterus yang
timbul pada hari kedua dan ketiga serta tidak mempunyai dasar patologis dan
tidak ada kemungkinan menjadi kernikterus. Ikterus akan menghilang dengan
sendirinya pada minggu pertama kelahiran bayi atau pada hari ke 10.
Bayi dapat
diklasifikasikan pada ikterus fisiologis jika:
a. Iktrus timbul pada hari kedua dan ketiga
b. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi dari 10 mg% pada
bayi cukup bulan dan 12,5 mg% pada bayi kurang bulan
c. Peningkatan kecepatan kadar bilirubin idak melebihi 5 mg%
per hari
d. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 1 mg%
e. Tidak berhubungan pada keadaan patologis
2. Ikterus patologis
Bayi dapat
diklasifikasikan pada ikterus patologis jika:
a.
Ikterus
terjadi dalam 24 jam pertama setelah kelahiran
b.
Kadar
bilirubin melebihi 10 mg% pada bayi cukup bulan atau 12,5 mg% pada bayi kurang
bulan
c.
Peningkatan
kadar bilirubin lebih dari 5 mg% per hari. Ikterus menetap setelah dua minggu
pertama
d.
Kadar
bilirubin direk melebihi 1 mg%
e.
Berkaitan
dengan proses hemolitik
Penatalaksanaan
Hiperbilirubinemia ringan tidak memerlukan pengobatan.
Bayi dianjurkan untuk lebih banyak menyusu sehingga mempercepat pembuangan isi
usus dan dapat mengurangi penyerapan kembali bilirubin dari usus sehingga
menurunkan kadar bilirubin dalam darah. Jika kadar bilirubin sangat tinggi
dianjurkan dengan terapi tukar yaitu darah bayi ditukar dengan darah segar
untuk membuang bilirubin dalam darah bayi pada darah sebelumnya
3. Hipotermia dan hipertermia
a. Hipotermia
Suhu normal
pada neonatus berkisar antara 360C-37,500C pada suhu
ketiak. Gejala awal hipotermia apabila suhu <360C atau kedua kaki
dan tangan teraba dingin. Bila seluruh tubuh bayi teraba dingin, maka bayi
sudah mengalami hipotermia sedang (suhu 320C - <360C). Disebut
hipotermia berat bila suhu tubuh <320C. Untuk mengukur suhu tubuh
pada hipotermia diperlukan thermometer ukuran rendah (low reading thermometer)
sampai 250C. Disamping sebagai suatu gejala, hipotermia dapat
merupakan awal penyakit yang berakhir dengan kematian.
Yang menjadi
prinsip kesulitan sebagai akibat hipotermia adalah meningkatnya konsumsi
oksigen (terjadi hipoksia), terjadinya metabolik asidosis sebagai konsekuensi
glikolisis dengan akibat hipoglikemia. Hilangnya kalori tampakdengan turunnya
berat badan yang dapat ditanggulangi dengan meningkatkan intake kalori.
b. Etiologi dan faktor presipitasi
Prematuritas,
asfiksia, sepsis, kondisi neurologil seperti meningitis dan perdarahan
cerebral, pengeringan yang tidak adekuat setelah kelahiran, eksposure suhu
lingkungan yang dingin.
c. Tanda-tanda klinis hipotermia:
1) Hipotermia sedang
Kaki teraba
dingin, kemampuan menghisap lemah, tangisan lemah, kulit berwarna tidak rata
atau disebut kutis marmorata.
2) Hipotermia berat
Sama dengan
hipotermia sedang, ditambah dengan pernapasan lambat dan tidak teratur, bunyi
jantung lambat, kadang timbul asidosis metabolic
3) Stadium lanjut hipotermia
Muka, ujung
kaki dan tangan berwarna merah terang, bagian tubuh lainnya pucat, kulit
mengeras, merah dan timbul edema terutama pada punggung, kaki dan tangan
(sklerema)
d. Penanganan
Penanganan
hipotermia ditujukan untuk:
1) Mencegah hipotermia
2) Mengenal bayi dengan hipotermia
3) Mengenal resiko hipotermia
4) Tindakan pada hipoermia
e. Hipertermia
Keadaan ini
terjadi bila bayi diletakkan dekat dengan sumber panas, dalam ruangan yang
udaranya panas, terlalu banyak pakai dan selimut.
Gejala
hipertermia pada bayi baru lahir:
Suhu tubuh
bayi >37,50C frekuensi panas bayi lebih 60 kali permenit
terdapatnya tanda-tanda dehidrasi seperti berat badan menurun, tugor kulit
kurang, jumlah urin berkurang
4. Asfiksia
Asfiksia
neonatorum adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat bernapas secara
spontan dan teratur dalam 1 menit setelah lahir.
Etiologi
a. Faktor ibu
Biasanya
terjadi pada bayi yang dilahirkan ibu dengan komplikasi, seperti diabetes
mellitus, preeklamsia berat, eritroblastosis fetalis, kelahiran kurang bulan.
b. Faktor janin
Faktor yang
terdapat pada janin atau bayi seperti adanya gangguan aliran ke tali pusat yang
menumbung atau tali pusat melilit leher.
1) Terjadinya depresi pernapasan pada bayi karena obat atau
analgetik yang diberikan pada ibu
2) Adanya gangguan tumbuh kembang intrauterin dan kelainan
bawaan (aplasia paru, atresia saluran nafas)
Asfiksia
neonatus akan terjadi apabila saat lahir mengalami gangguan pertukaran gas dan
transport O2 sehingga bayi kekurangan persediaan O2 dan kesulitan pengeluaran
CO2
Pada bayi
dengan asfiksia bisa terjadi sindrom gangguan napas. Aspirasi mekonium, infeksi
dan kejang merupakan komplikasi yang sering terjadi pasca asfiksia. Pada bayi
dengan asfiksia dapat pula ditemukan komplikasi lain yaitu gangguan fungsi
jantung, renjatan neonatus, gangguan fungsi ginjal, lebih merupakan indikator
maturitas tumbuh kembang bayi.
Akibat yang
mungkin muncul pada bayi asfiksia secara keseluruhan mengalami kematian 10-20%,
sedangkan 20-45% dari yang hidup mengalami kelainan neurologi, kira-kira
60%-nya dengan gejala sisa berat. Sisa normal. Gejala sisa neurologik berupa
cerebral palsy, mental retardasi, epilepsi, microceflus, hidrocefalus dan
lain-lain.
3) Penatalaksaan
Resusitasi
dengan langkah mengikuti ABC yaitu:
A : Pertahankan
perjalanan napas bebas, jika perlu dengan intubasi endotrakeal.
B : Bangkitkan
napas spontan dengan stimulasi taksil dan tekanan positif menggunakan ambu bag and mask atau lewat pipa endotrakeal
C : Pertahankan sirkulasi
jika perlu dengan konpresi dada dan obat-obatan
Pada
asfiksia ringan, berikan bantuan napas dengan oksigen 100% melalui
bag and mask selama 15-30 detik.
Pada
asfiksia berat dapat terjadi syok kardiogenik. Pada keadaan ini diberikan
dopamin per infus 5-20 mg/KgBB/mnt.
Bila
terdapat riwayat pemberian analgesik narkotik pada ibu hamil berika narcan 0,1 mg/KgBB
dapat diberikan secara subkutan intramuskular, intravena atau melalui pipa
endotrakeal.
4) Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
biasanya ditemukan penurunan kadar hematokrit dan peninggian trombosit akibat
hiperaktivitas sumsum tulang
Fungsi lumbal
untuk menunjukan adanya cairan spinal yang bercampur darah disertai dengan
peninggian jumlah sel darah merah dan protein, serta penurunan glukosa. Untuk
memantau berbagai perubahan yang terjadi akibat pendarahan.
5. Kejang
Kejang pada
neonatus didefinisikan sebagai suatu gangguan terhadap fungsi neurilogis
seperti tingkah laku, motorik, atau fungsi otonom. Kebanyakan kejang pada BBL
timbul selama beberapa hari. Sebagian kecil dari bayi tersebut akan mengalami
kejang lanjutan dalam kehidupan kelak. Kejang pada neonatus relatif sering
dijumpai dengan manifestasi klinis yang bervariasi. Timbulnya sering merupakan
gejala awal dari gangguan neurologi dan dapat terjadi gangguan pada kognitif
dan perkembangan jangka panjang.
Ada
banyak penyebab kejang pada neonatus, yaitu:
a. Bayi tidak menangis pada waktu lahir adalah penyebab yang
paling sering. Timbul dalam 24 jam kehidupan pada kebanyakan kasus.
b. Pendarahan otak, dapat timbul sebagai akibat dari
kekurangan oksigen atau trauma pada kepala. Pendarahan subdural yang biasanya
diakibatkan oleh trauma dapat menimbulkan kejang.
c. Gangguan metabolik.
d. Kekurangan kadar gula darah (Hipoglikemia), sering timbul
dengan gangguan pertumbuhan daam kandungan dan pada bayi dengan ibu penderita
diabetes melitus (DM). Jangka waktu antara hipoglikemia dan waktu sebelum
pemberian awal pengobatan merupakan waktu timbulnya kejang.
e. Kekurangan kalsium (hipokalsemia), sering ditemukan pada
bayi berat badan lahir rendah, bayi dengan ibu penderita DM, bayi asfiksia,
bayi dengan ibu penderitqa hiperparatiroidisme.
f. Kekurangan natrium (Hiponatremia)
g. Kelebihan natrium (Hipernatremia), biasanya timbul
bersamaan dengan dehidrasi atau pemakaian bikarbonat berlebihan.
h. Kelainan metabolik lain seperti:
1) Ketergantungan piridoksin mengakibatkan kejang yang
resistan terhadap antikonvulsan. Bayi dengan kelainan ini mengalami kejang
intrauterin dan lahir dengan meconium staining.
2) Gangguan asam amino
Kejang pada
bayi dngan gangguan asam amino sering disertai dengan manivestasi neurologi.
Hyperamonemia dan asidosis sering timbul pada gangguan asam amino.
6. Infeksi sekunder akibat bakteri atau nonbakteri dapat
timbul pada bayi dalam kandungan, selama persalinan, atau pada periode
perinatal.
a. Infeksi bakteri
Meningitis
akibat infksi group B streptococus, escherechcoli, atau listeria
monocytogenes sering menyertai kejang selama minggu pertama kehidupan
b. Infeksi non bacterial
Penyebab non
bakterial seperti toxoplasmosis dan infeksi oleh herpes
simpleks, cytomegalovirus dan rubella dapat
menyebabkan infeksi intrakranial dan kejang.
Penatalaksanaan:
Bayi yang mengalami kejang dapat dilakukan tindakan
diantaranya:
a. Memasukkan tong spatel atau sudip lidah yang telah
dibungkus dengan kassa steril pada saat bayi kejang agar jalan napas tidak
tertutup oleh lidah
b. Mengurangi rangsangan pada bayi seperti cahaya
c. Memberikan pengobatan anti kunvulsan
d. Untuk menghindari infeksi dapat diberikan antibiotik
serta perawatan tali pusat dengan menggunakan teknik septik
7. Kelainan atau cacat bawaan
a. Labioskizis
Labioskizis
adalah suatu kelainan bawaan terdapatnya celah pada bibir atau
ketidaksempurnaan penyambungan bibir selama masa perkembangan janin dimasa
kehamilan.
Faktor
penyebab:
1) Faktor herediter
Faktor ini
menyangkut dengan mutasi gen, kelainan kromosom pada saat pembentukan bibir
dalam masa kehamilan pada saat embrio, biasanya terjadi pada trimester I
kehamilan. Resiko lebih tinggi pada bayi yang memiliki saudara kandung atau
orang tua yang mengalami kelainan ini, dapat diturunkan baik melewati ayah
maupun ibu.
2) Faktor lingkungan
Faktor ini
berkaitan dengan usia ibu, ibu mengkonsumsi obat-obatan pada saat kehamilan
seperti fenstitin, flufenamat, nutrisi ibu yang jelek pada saat kehamilan,
infeksi oleh virus rubella pada saat kehamilan, terpapar radiasi, strees
emosional yang tinggi, trauma pada trimester I kehamilan serta pada ibu yang
mengalami hyperemesis gravidarum berat.
Penanganan:
Pada bayi dengan kelainan bawaan bibir sumbing harus
menjalani operasi. Operasi dapat dilakukan jika telah memenuhi syarat, yaitu
berat badan bayi lebih dari 5 kg, haemoglobin lebih dari 10 gr% serta umur
harus lebih dari 10 minggu atau 3 bulan. Penanganan bayi dengan bibir sumbing
melibatkan banyak multi disiplin ilmu dan tenaga ahli diantaranya ahli bedah
plasik, ahli THT, dokter gigi untuk memantau kelainan pertumbuhan gigi, terapi
untuk memanau perkembangan berbicara anak, psikolog untuk mengatasi masalah
psikologi anak terutama menyangkut rasa rendah diri pada anak.
Bayi yang mengalami bibir sumbing akan mengalami gangguan
fungsi berupa kesulitan menghisap ASI, terutama jika kelainan mencapai
langi-langi mulut. Jika keadaan demikian penanganan dalam memenuhi kebutuhan
ASI ibu dapat dilakukan dengan memompa ASI terlebih dahulu, kemudian diberikan
dengan sendok atau dengan botol berlubang pada bayi dengan posisi tubuhnya
ditegakkan serta menempel pada dada ibu.
b. Labiopalatoskizis
Labiopalatoskizis
adalah suatu kelainan bawaan terdapatnya celah bibir serta pada garis tengah
palato atau ketidaksempurnaan penyambungan bibir sampai ke langit-langit selama
masa perkembangan janin dimasa kehamilan.
Faktor
penyebab:
Faktor
penyebab hampir sama dengan labiokizis yaiu terjadinya kegagalan pada fase
embrio dimasa kehamilan. Faktor hereditas (mutasi gen dan kromosom) serta
faktor lingkungan.
Penanganan:
Bayi akan
menjalani operasi setelah memenuhi persyaratan yang sama dengan labioskizis,
serta melibatkan banyak atau multi disiplin ilmu. Pembedahan pada palato
dilakukan pada waktu 6 bulan atau 5 tahun, atau dapat juga dilakukan pada usia
6 bulan dan 2 tahun tergantung pada derajat kecacatan awal.
8. Hydrocephalus
Hydrocephalus adalah
keadaan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebro spinal
(CSS) dengan atau penuh tekanan intrakranial yang meninggi sehingga terjadi
pelebaran ruangan tempat mengalirnya cairan serebro spinal tersebut.
(IKA FKUI, 1985)
Klasifikasi:
a. Hydrocephalus yang didapat secara congenital
Merupakan
hydrocephalus yang diderita bayi sejak bayi dilahirkan. Keadaan ini
mengakibatkan otak bayi terbentuk kecil pada saat lahir karena desakan oleh
banyaknya cairan didalam kepala bayi yang mengakibatkan tingginya tekanan
intrakranial sehingga pertumbuhan sel otak bayi menjadi terganggu.
b. Hydrocephalus yang didapat setelah bayi lahir
Merupakan
hydrocephalus yang didapat oleh bayi setelah lahir yang disebabkan oleh
penyaki-penyakit tertentu seperti TBC yang menyerang otak. Pada hydrocephalus
yang didapat setelah lahir, pembentukan otak telah sempurna, tetapi kemudian
terjadi tekanan intrakranial sehingga pertumbuhan dan perkembangan otak
terganggu.
Penanganan:
a. Non pembedahan
Pemberian
asetazolamida dan isosorbide atau furasemid untuk mengurangi cairan serebro
spinal.
b. Pembedahan
Pengangkatan
yang menyebabkan obstruksi seperti neoplasma, kistahematoma. Sebagian besar
bayi dengan hydrocephalus memerlukan pemasangan shunt. Pemasangan shunt yang
bertujuan untuk mengalirkan cairan serebro spinal yang berlebihan dari ventikel
ke ruang ekstra kranial, misal ke rongga peritonium, atrium kanan dan rongga
pleura.
9. Berat badan lahir rendah (BBLR)
Bayi berat
badan lahir rendah (BBLR), menurut dr. Keumal Pringgardani, SpA adalah bayi
yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gr. Umumnya bayi yang normal
berat badannya telah mencapai 2500 gr pada usia kehamilan sekitar 38 minggu.
Penyebab:
Bayi berat
badan lahir rendah terjadi karena adanya gangguan pertumbuhan bayi sewaktu
dalam kandungan yang disebabkan oleh penyakit ibu, seperti adanya kelainan
plasenta, infeksi hypertensi dan keadaan-keadaan lain yang mengakibatkan suplai
makan ke bayi jadi berkurang.
Bayi berat
badan lahir rendah dan penatalaksaannya terbagi atas:
a. Prematuritas murni
Yaitu bayi
dengan berat badan lahir rendah dengan masa gestasi kurang dari 37 minggu:
1) Berat lahir kurang dari 1500 gr
Dirawat dalam
inkubator, pertahankan suhu tubuh antara 36,5 – 370C. Bila tidak ada
SGNN dapat diberi minum peroral susu rendah laktosa/ ASI dengan menghisap
sendiri atau dengan pipa nasogastrik
2) Berat lahir lebih dari 1500 gr
Tanpa
asfiksia, tidak ada tanda-tanda sindroma gawat napas neonatus (SGNN) dan reflek
isap baik rawat gabung dengan metode kangguru dan langsung diberi ASI/LLM
b. Dismatur
Yaitu berat
badan lahir rendah dengan masa kehamilannya atau masa gestasinya lebih dari 37
minggu:
1) Berat lahir kurang dari 1500 gr.
Dirawat dalam
inkubator, pertahankan suhu tubuh antara 36,5 – 370C. Bila refleks
hisap baik dan tidak ada SGNN dan refleks hisap baik langsung diberi minum
LLM/ASI peroral lebih dini (2 jam setelah lahir). Bila refleks hisap kurang
diberikan minum melalui pipa nasogastrik.
2) Berat lahir lebih dari 1500 gr
Tanpa
asfiksia, tidak ada tanda-tanda SGNN dan reflek hisap baik rawat gabung dan
langsung diberi LLM/ASI lebih dini (2 jam setelah lahir).
c. Bayi dengan masa gestasi kurang dari 37 minggu dan kecil
untuk masa kehamilan
Penatalaksanaannya
sama dengan bayi prematur dengan berat lahir kurang dari 1500 gr. Tindak
lanjut:
1) Observasi ketat TTV dan kemampuan minum serta pertambahan
berat badan
2) Awasi komplikasi yang mungkin timbul:
Hypotermia,
hypoglemia, hypokalsemia, polisitemia, hyperbilirubinea, pendarahan peri-intra
ventikuler, perdarahan paru dan enterokolitis nekrotikan dan infeksi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bayi baru
lahir atau neonatus meliputi umur 0-28 hari. Kehidupan pada masa neonatus ini
sangat rawan, karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di luar
kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya
angka kesakitan dan angka kematian neonatus.
Beberapa keadaan neonatus dengan resiko tinggi:
1. Sindroma gawat napas
2. Hyperbilirubinemia
3. Hypotermia dan hypertermia
4. Asfiksia
5. Kejang
6. Kelainan atau cacat bawaan
7. Labioskizis dan labiopalatoskizis
8. Hydrocephalus
9. Berat badan lahir rendah (BBLR)
B. Saran
Diharapkan
pembaca dapat memperoleh manfaat dari makalah yang kami sajikan. Penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca unuk perbaikan makalah kami
berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, Vivian Nanny Lia. 2013. ASUHAN
NEONATUS BAYI DAN ANAK BALITA, Salemba Medika
Wahab, Samik.
2012. Nelson Ilmu Kesehatan Anak, EGC: Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar