BAB I
PENDAHULUAN
Setiap jam, satu perempuan meninggal dunia
ketika melahirkan atau karena sebab-sebab yang berhubungan dengan kehamilan.
Rasio kematian ibu, yang diperkirakan sekitar 228 per 100.000 kelahiran
hidup, tetap tinggi di atas 200 selama dekade terakhir, meskipun telah
dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan ibu.1
WHO mengembangkan konsep safe motherhood untuk menggambarkan
ruang lingkup upaya penyelamatan ibu dan bayinya. Salah satu pilar dari safe motherhood adalah pelayanan
obstetri esensial. Pelayanan obstetri esensial adalah istilah yang digunakan
untuk menggambarkan unsur pelayanan kebidanan yang diperlukan pada
penanganan persalinan normal dan
komplikasi kehamilan, kelahiran dan masa nifas.2
Pelayanan obstetri esensial diperuntukkan bagi ibu yang
mengalami kehamilan risiko tinggi atau komplikasi diupayakan agar berada dalam
jangkauan setiap ibu hamil. Pelayanan obstetri esensial meliputi kemampuan
fasilitas pelayanan kesehatan untuk melakukan tindakan dalam mengatasi risiko
tinggi dan komplikasi kehamilan dan persalinan.3
Tidak hanya menyediakan sarana untuk
mengelola apabila terjadi komplikasi darurat, pelayanan obstetri juga mencakup
prosedur untuk deteksi dini dan pengobatan untuk mencegah perkembangan
kehamilan masalah untuk tingkat keadaan darurat. Perawatan obstetri esensial
termasuk deteksi dini dan pengobatan atau rujukan dari masalah seperti anemia,
preeklampsia, dan persalinan lama, serta bedah, anestesi, dan penggantian
darah.3
Pelayanan dasar obstetri esensial
meliputi semua elemen pelayanan obstetri esensial kecuali tindakan operasi,
anestesi dan penggantian darah. Pelayanan ini meliputi unsur-unsur pencegahan
dan dapat disediakan pada tempat rujukan
tingkat pertama. melalui tenaga medis non-dokter, seperti bidan yang
terlatih secara medis.2
Tanpa peran serta
masyarakat, mustahil pelayanan obstetri esensial dapat menjamin tercapainya
keselamatan ibu. Oleh karena itu, diperlukan strategi berbasis masyarakat yang
meliputi keterlibatan anggota masyarakat khususnya wanita dan pelaksanaan pelayanan setempat, dalam upaya
memperbaiki kesehatan ibu. Juga dibutuhkan kerjasama masyarakat,
wanita, keluarga, dan dukun untuk mengubah sikap terhadap keterlambatan
mendapat pertolongan. Dan tersedianya pendidikan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran tentang komplikasi
obstetri serta kapan dan dimana mencari pertolongan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Determinan Kematian Ibu dan Bayi di
Indonesia
v
Kematian ibu
Menurut SDKI 2002/03 pada periode 1998-2002
angka kematian ibu diperkirakan 307 per 100.000 kelahiran hidup. Terjadi
penurunan jika dibandingkan dengan angka kematian ibu menurut SDKI 1994 sebesar
390 per 100.000. Namun, penurunan ini sangat lamban. Pada 1987 sewaktu upaya safe motherhood baru dimulai, angka
kematian ibu di Indonesia diperkirakan 450 per 100.000.4
v
Kematian bayi dan
anak
Angka kematian bayi turun 41% dalam 15 tahun
terakhir dari 51/1.000 kelahiran hidup pada 1988-1992 menjadi 35/1.000
kelahiran hidup pada 1998-2002. Umumnya bayi yang lahir diperkotaan mempunyai
angka kematian lebih rendah daripada yang lahir di pedesaan (masing-masing 32 dan
52/1.000).2
Kematian
anak juga berbeda antarprovinsi. Angka kematian balita tinggi di Nusa Tenggara
Barat, Gorontalo dan Sulawesi Tenggara (masing-masing 103, 97 dan 92/1.000),
sedangkan Bali paling rendah (19/1.000).2
Angka
kematian bayi turun bermakna jika jarak waktu antara kelahiran meningkat. Pada
jarak kelahiran kurang dari 2 tahun, angka kematian bayi lebih dari 2 kali
daripada pada jarak antarkelahiran lebih dari 2 tahun (masing-masing 102 dan
47/1.000 kelahiran hidup). Usia ibu juga mempengaruhi kelangsungan hidup anak.
Kematian bayi yang lahir dari ibu berusia di bawah 20 tahun adalah 53/1.000,
sedang pada ibu berusia 20-29 tahun dan 30-39 tahun ini masing-masing 39 dan
46/1.000. Pada ibu berusia 40-49 tahun, angka kematian bayi naik menjadi 50/1.000.2
v
Tingkat fertilisasi
dan kecenderungan perkembangan
Menurut SDKI 2003, Tingkat Fertilisasi Total
(TFR) di Indonesia adalah 2,6. Telah terjadi penurunan dari tahun-tahun
sebelumnya seperti dapat dilihat pada Gambar 1.
TFR di
pedesaan lebih tinggi daripada di perkotaan (2,7 berbanding 2,4). Sementara
kelompok miskin mempunyai TFR lebih tinggi (3,0) jika dibandingkan dengan
kelompok kaya (2,2). Ditinjau dari daerah, terdapat variasi cukup besar
misalnya TFR di Nusa Tenggara Timur 4,1 sementara TFR di Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali telah mencapai replacement level 2,1. Secara
keseluruhan TFR nasional lebih rendah daripada Myanmar (2,8), Malaysia (2,9),
Filipina (3,5), Kamboja (4,0) dan Laos (4,7).5
v Usia kawin dan hubungan seksual pertama
Berdasarkan SDKI 1997 dan 2002/2003 terdapat
peningkatan rata-rata usia kawin pertama pada perempuan berusia 25-49 dari 18,6
menjadi 19,2 tahun. Di perkotaan usia tersebut adalah 20,3 tahun, sedangkan di
pedesaan 18,3 tahun (SDKI 2002/2003).5
v
Usia persalinan
pertama
Terjadi peningkatan usia persalinan pertama
dari 20,8 tahun (1997) menjadi 21,0 tahun (2002/2003). Sementara persalinan
usia remaja turun dari 12% (1997) menjadi 10% (2002/2003).5
v
Preferensi
fertilitas
Separuh perempuan kawin menyatakan tidak
menginginkan tambahan anak lagi dan 4% diantaranya telah menjalani sterilisasi.
Empat puluh persen menyatakan masih ingin tambah anak, 13% dalam 2 tahun, dan
24% sesudah 2 tahun. Di antara perempuan yang telah mempunyai 2 anak, 58 %
tidak ingin tambahan anak lagi atau telah disterilisasi. Pada mereka yang telah
mempunyai 3 anak, angka ini adalah 79%.2,5
v
Kebutuhan pelayanan
Keluarga Berencana
Kebutuhan yang tidak terpenuhi (unmet needs) adalah 9%, yang terdiri
atas 5% antuk menghentikan fertilitas dan 4% menjarangkan. Angka ini kurang
lebih sama dengan keadaan tahun 1997. Program nasional merencanakan penurunan unmet needs pelayanan KB dari 95 (1997)
menjadi 7% (2004). Saat ini baru 11 provinsi yang telah mencapai angka
tersebut, yaitu Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa
Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur,
dan Sulawesi Utara. Jumlah keseluruhan kebutuhan KB, yaitu jumlah prevalensi
kontrasepsi dan unmet needs, adalah
88%.5
v
Jarak kelahiran
Jarak kelahiran rata-rata adalah 54 bulan,
lebih tinggi daripada tahun 1997 (45 bulan) dan tahun 1994 (42 bulan).5
v
Pengetahuan tentang
Keluarga Berencana
Pengetahuan tentang metode kontrasepsi cukup
tinggi. Pada 2002/2003, 99% perempuan kawin dan 96% pria kawin mengetahui
paling sedikit 1 metode kontrasepsi modern. Kontrasepsi suntik dan pil
merupakan metode yang paling dikenal (97%), diikuti AKDR dan implant (87%).5
v
Pemakaian
Kontrasepsi
Menurut SDKI 2002/2003, 60% perempuan kawin
saat ini menggunakan kontrasepsi, dibandingkan dengan 57% pada tahun 1997.
Metode kontrasepsi yang paling banyak digunakan adalah kontrasepsi suntik (
28%), pil (13%), dan AKDR (6%). Pemakaian kontrasepsi juga bervariasi antara
provinsi. Lebih dari 65 % perempuan kawin menggunakan kontrasepsi di DI
Yogyakarta, Sulawesi Utara, Bengkulu, Jawa Timur, dan Bangka Belitung.
Sebaiknya, di Nusa Tenggara Timur angka ini hanya 35 %.5
v
Angka
Ketidaklangsungan Pemakaian
Secara keseluruhan 21 % peserta KB menghentikan pemakaian kontrasepsi
dalam 12 bulan sejak mulai penggunaan. Ketidaklangsungan pemakaian tertinggi
adalah kondom (39%), pil (32%), dan kontrasepsi suntik (18%). Ketidaklangsungan
pemakaian oleh karena kegagalan metode kontrasepsi terutama terjadi pada
kondom.5
v
Asuhan Persalinan
Walaupun asuhan antenatal oleh tenaga kesehatan cukup tinggi, 6 dari 10
persalinan di Indonesia dilangsungkan di rumah, dengan perbandingan di desa dan
di perkotaan 76% dan 40%. Dilihat dari tenaga penolong, terdapat kemajuan cukup
banyak. Jika pada 1991 masih 64% persalinan ditolong oleh dukun, pada 2002/2003
angka ini turun menjadi 32%. Pertolongan oleh tenaga kesehatan ( dokter/ bidan
) naik dari 32 % (1991) menjadi 55% (2002/2003). Selain bervariasi antara
daerah perkotaan dan pedesaan ( masing-masing 79% dan 55% ditolong oleh tenaga
kesehatan) juga terdapat variasi antarprovinsi. Yang paling tinggi pertolongan
oleh tenaga kesehatan adalah DKI Jakarta (94%), paling rendah di NTT dan Sulawesi
Tenggara (55%). Dukun masih berperan di Gorontalo dan Jawa Barat (50%).5
v
Desentralisasi dan
implikasinya terhadap
pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir
Indonesia sedang menetapkan desentralisasi
sesuai dengan Undang-Undang No. 22 dan No. 25 tahun 1999. Undang-Undang No.22
mengatur tentang desentralisasi ( pelimpahan wewenang ), dekonsentrasi (
pendelegasian wewenang ), dan otonomi daerah ( otonomi penuh untuk mengurus dan
mengelola kebutuhan masyarakat sesuai kemampuan sendiri dalam batas-batas peraturan
yang berlaku). Undang-Undang No.22 menekankan pada perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah dengan memberikan otonomi penuh kepada pemerintah
kabupaten/kota mengatur sumber daya lokal melalui bagi hasil dengan pemerintah
pusat menurut ketentuan yang telah disepakati.4,5
Proses desentralisasi menuntut adanya
perubahan peran dan tanggung jawab di tingkat nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota. Departemen Kesehatan bertanggung jawab secara menyeluruh untuk
pengembangan kebijakan kesehatan nasional, norma-norma serta standar, kerja
sama lintas sektor, maupun pemanntauan dan evaluasi rencana kesehatan nasional.5
Dinas kesehatan Provinsi bertanggung jawab
untuk memberikan bentuan teknis tentang masalah kesehatan yang penting.
Undang-Undang yang baru tentang desentralisasi, menetapkan peran Dinas
Kesehatan Provinsi dalam memfasilitasi tingkat kabupaten/kota untuk
melaksanakan kewenangannya yang baru mengenai pengelolaan kesehatan. Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota bertanggung jawab penuh untuk merencanakan dan
melaksanakan pelayanan kesehatan.5
v
Penyedian pelayanan
kesehatan ibu dan bayi baru lahir di sektor pemerintah
Bidan di desa yang umumnya bertugas di
polindes, memberikan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir dasar selama
kehamilan, persalinan, dan nifas, maupun pertolongan pertama pada kasus
kegawatdaruratan. Untuk memberikan pelayanan, petugas tersebut mendapat bidan
kit, obat-obatan, dan bahan-bahan untuk pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru
lahir.5
Puskesmas
pembantu sebagai satelit dari puskesmas memiliki beberapa petugas paramedis.
Sebagian puskesmas pembantu yang memiliki tenaga bidan mampu memberikan pelayanan
kesehatan ibu dan bayi baru lahir seperti halnya bidan di desa.5
Puskesmas
yang mempunyai dokter umum dan bidan, khususnya puskesmas dengan tempat tidur,
mampu memberikan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergency Dasar, sedangkan
puskesmas tanpa tempat tidur hanya memberikan beberapa elemen Pelayanan
Obstetri dan Neonatal Emergency Dasar ( PONED ).5
Semua
Rumah Sakit Kabupaten/Kota dan Provinsi yang mempunyai dokter spesialis
obstetri dan ginekologi mampu memberikan Pelayanan Obstetri dan Neonatal
Emergency Komprehensif ( PONEK ).5
Sisitem
pencatatan dan pelaporan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir meliputi
kartu hamil, pencatatan persalinan termasuk partograf, pencatatan pertolongan
persalinan dukun, kartu peserta KB, register kohort ibu dan register kohort
bayi. Register-register ini memuat informasi tentang semua persalinan di
wilayah kerja, baik yang dihimpun di puskesmas oleh bidan di desa maupun
melalui jalur lain seperti kader dan dukun bayi.5
Untuk
menjamin pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir yang berkualitas telah
dikembangkan sistem jaminan mutu dan secara rutin dilakukan melalui kegiatan
supervisi Quality Assurance dan Audit Maternal Perinatal di tingkat
kabupaten/kota.5
v
Penyediaan
pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir oleh masyarakat dan swasta
Posyandu yang dikelola oleh kader kesehatan
memberi pelayanan antenatal dengan bantuan bidan di desa. Di tingkat masyarakat
dukun bayi masih berperan dalam memberikan pelayanan kehamilan, persalinan, dan
nifas.5
Fasilitas
bidan praktik swasta terdapat di berbagai desa dan kota yang juga memberikan
pertolongan persalinan di rumah pasien. Sementara itu, rumah bersalin dan rumah
sakit bersalin swasta menyediakan pelayanan ibu dan bayi baru lahir dasar
ataupun pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal.5
v
Kesenjengan dalam
penyediaan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir
Berdasarkan
kebijakan nasional, setiap desa harus memiliki polindes, setiap kecamatan
memiliki puskemas, dan setiap kabupaten/kota memiliki rumah sakit. Dalam
kenyataan hanya sekitar 50% desa yang memiliki polindes, sedangkan jumlah
puskesmas dan rumah sakit sudah memadai. Meskipun demikian, kualitas pelayanan
ibu dan bayi baru lahir disemua fasilitas kesehatan tersebut masih rendah.
Kelengkapan
peralatan, bahan, atau obat-obatan untuk pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru
lahir belum memenuhi standar kebutuhan. Banyak rumah sakit kabupaten/kota yang
belum memiliki fasilitas penyimpanan darah ataupun deteksi terhadap HIV dan
Hepatitis B.
Di semua
tingkat pelayanan kesehatan terdapat kekurangan sumber daya manusia. Sekitar
30% rumah sakit kabupaten/kota tidak memiliki dokter spesialis obstetri dan
ginekologi maupun dokter spesialis lainnya. Sementara itu, pada seluruh sistem
kesehatan terdapat kekurangan dokter umum, bidan, dan bidan di desa telah
memeperoleh pelatihan, kompetensi dan keterampilan mereka dalam pelayanan
kesehatan ibu dan bayi baru lahir dasar, terutama manajemen aktif kala III dan
pelayanan kegawatdaruratan obstetri, masih kurang memadai.
Ketersediaan
dan kualitas data dari sistem informasi kesehatan ibu dan bayi baru lahir yang
ada kurang memberikan informasi yang dapat digunakan sebagai dasar bagi
perencanaan dan manajemen program.4,5
v
Kesenjangan dalam
pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir
Secara umum, pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi
baru lahir yang tidak merata sangat erat hubungannya dengan kemiskinan,
pendidikan wanita, faktor geografis, dan pembangunan sosial. Kaum ibu yang miskin dan tidak berpendidikan
mengalami kesulitan khusus dalam memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan
karena keterbatasan biaya dan ketidaktahuan.5
Persentase
ibu hamil yang mendapat pelayanan antenatal sekurang-kurangnya 1 kali cukup
tinggi (92%), tetapi persentase yang mengunjungi klinik antenatal 4 kali sesuai
dengan standar lebih rendah (81%). Persentase ibu hamil yang mendapat 2 dosis
tetanus toksoid dan dosis penuh 90 tablet besi cukup tinggi (78%). Meskipun
demikian, ternyata hanya sekitar 65% dari semua persalinan ditolong tenaga
kesehatan terampil, masih jauh dibawah target nasional. Secara nasional
kunjungan ibu nifas dilaporkan sebesar 74% yang kebanyakan dilayani oleh bidan
di desa.5
Pemanfaatan
sistem rujukan masih kurang antara lain karena rendahnya pengetahuan ibu hamil
dan keluarganya tentang tanda-tanda bahaya pada kehamilan, persalinan, dan
nifas. Selain itu, masyarakat juga kurang berhasil membantu kaum ibu untuk
memanfaatkan sistem rujukan, seperti membantu dalam penyediaan dana untuk biaya
pelayanan, pemanfaatan teknologi komunikasi di pelbagai tingkat sistem
pelayanan, serta pengaturan sistem pengaturan transportasi yang berfungsi
dengan baik.5
v
Kesenjangan dalam
pembiayaan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir
Pelayanan
di fasilitas kesehatan diberikan dengan cara pembayaran tunai, kecuali
pelayanan bagi keluarga miskin di fasilitas pemerintah. Saat ini sedang
dikembangkan sistem pembiayaan pelayanan kesehatan melalui Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat (JPKM). Selain itu, terdapat pula program pembiayaan
keehatan seperti Askes, Jamsostek, Dana Sehat, dan Tabulin. Tabulin adalah
upaya pembiayaan khusus bagi perempuan untuk pelayanan selama kehamilan,
persalinan, dan nifas.5
Pelayanan
komplikasi tepat waktu dan adekuat sangat kritis untuk kelangsungan hidup ibu
dan bayi baru lahir. Namun, pertolongan demikian mahal biayanya. Kekurangan
dana merupakan masalah utama penolakan untuk di rujuk ke rumah sakit,
terkecuali rujukan yang didanai Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan
(JPS-BK).5
Mekanisme
pembiayaan untuk mendanai program kesehatan kabupaten/kota saat ini adalah
melalui PAD, DAU, dan DAK. Saat ini sulit bagi kabupaten/kota untuk mencari
keseimbangan antara biaya pelayanan yang berkualitas dan ketersediaan dana. Hal
ini akan mempengaruhi pemanfaatan pelayanan, terutama kasus komplikasi
kehamilan dan persalinan bagi ibu-ibu yang tidak mampu.5
v
Kesenjangan dalam
komitmen politik dan kebijakan terhadap kesehatan ibu dan bayi baru lahir
Komitmen
politik jangka panjang pada tingkat nasional merupakan titik tolak yang penting
dari negara-negara yang telah berhasil menurunkan kematian ibu. Kemajuan yang
diperoleh membutuhkan perjuangan yang sungguh-sungguh dari pengambil keputusan
dan politisi untuk memberikan perhatian pada besarnya permasalahan serta
dimensi hak asasi manusia sambil mempromosikanintervensi yang bermanfaat dan
menentukan cara-cara pengukuran dampaknya.
Pemerintah
Indonesia telah merumuskan beberapa kebijakan yang mendukung peningkatan kesehatan
serta kelangsungan hidup ibu dan bayi baru lahir. Selain itu, terdapat beberapa
kebijakan tentang pelaksanaan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir.
Kebijakan
tentang kesehatan ibu dan bayi baru lahir secara khusus berhubungan dengan
pelayanan antenatal, persalinan, dan nifas, perawatan bayi baru lahir, dan
kegawatdaruratan. Kebijakan pelayanan antenatal menyatakan bahwa pelayanan
antenatal harus diberikan disemua jenis fasilitas kesehatan di posyandu sampai
rumah sakit pemerintah dan di fasilitas kesehatan masyarakat. Kebijakan ini
menyatakan bahwa pelayanan antenatal harus diberikan sesuai dengan standar
nasional, sekurang-kurangnya 4 kali selama kehamilan, yaitu satu kali dalam
trimester I, satu kali dalam trimester II, dan 2 kali dalam trimester III.
Kebijakan
tentang persalinan menyatakan bahwa semua persalinan harus di tolong oleh
petugas kesehatan yang terampil. Melalui Permenkes 572/1996, bidan di desa
telah di beri wewenang untuk menangani komplikasi kehamilan dan persalinan
tertentu. Kebijakan tentang kunjungan bayi baru lahir belum selaras dengan
kunjungan ibu pada masa nifas.
Kebijakan
tentang KB di fokuskan pada kehamilan 4 terlalu (terlalu
muda/sering/banyak/tua) yang merupakan kelompok the unmet needs dalam masyarakat.
Walaupun
menurut hukum perempuan berhak memperoleh pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru
lahir, di pelbagai daerah pelayanan yang aman tidak tersedia secara adekuat.
Hal ini terjadi karena pelbagai alasan antara lain: kurangnya petugas kesehatan
terlatih dan memiliki motivasi, metode yang tidak tepat, kurangnya pemberian
wewenang pada petugas dan fasilitas kesehatan untuk melaksanakan pelayanan
tertentu, kurangnya pengetahuan petugas tentang peraturan perundang-undangan
itu sendiri, persyarata peraturan yang kompleks, atau kurangnya sumber daya.
Kebijakan
yang luas dan faktor sosial seperti persyaratan hukum dan prosedur lain,
kurangnya informasi pemerintah tentang undang-undang hak asasi perempuan, serta
stigma sosial juga harus dipertimbangkan jika akan menyediakan pelayanan aman
dan sah menurut hukum serta dapat diakses. Pedelegasian wewenang yang tepat
perlu dikembangkan sehingga fungsi-fungsi tertentu dapat didelegasikan kepada
petugas yang terampil di tingkat pelayanan yang lebih rendah.5
v
Kesenjangan dalam
kerja sama dan koordinasi antara pemerintah dan mitra kerja
a.
Departemen lain
Departemen-departemen atau badan yang
mempunyai peran utama dalam mendukung pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru
lahir adala Meneg Pemberdayaan Perempuan, BKKBN, Departemen pendidikan nasional,
Departemen Agama, dan Bappenas.
Meneg PP mendukung keberhasilan upaya
penurunan angka kematian ibu dan bayi baru lahir melalui Gerakan Sayang Ibu
(GSI). Selanjutnya, gerakan ini memfokuskan diri pada pengembangan kecamatan
saying ibu dan rumah sakit sayang ibu. Gerakan saying ibu saat ini hanya
terdapat beberapa kecamatan di Indonesia. Departemen Pendidikan Nasional telah
memulai pendidikan kepada gadis remaja mengenai masalah kesehatan reproduksi
dan pencegahan anemia.
Depdiknas pada saat ini sedang merevisi
kurikulum Sekolah Menengah Umum dan Sekolah Menengah Pertama untuk
mengakomodasi isu-isu kesehatan reproduksi. Peran BKKBN lam upaya penurunan
angka kematian ibu dan bayi baru lahir difokuskan pada upaya penurunan angka
fertilitas.
Departemen dan badan tersebut diatas tidak
jarang mempunyai kepentingan yang sama dibeberapa bidang yang kadang-kadang
sulit untuk dikoordinasikan dilapangan sehingga terjadi tumpang tindih yang
tidak dapat dihindari.
b.
Sektor swasta, LSM, dan organisasi profesi
Sektor swasta dan LSM berperan dalam penyediaan pelayanan kesehatan ibu dan
bayi baru lahir. Berdasarkan kebijakan nasional semua fasilitas kesehatan
swasta harus memperhatikan standar pelayanan. Akan tetapi, sampai saat ini
ternyata tidak ada pengawasan efektif dari dinas kesehatan setempat.
Organisasi profesi seperti POGI, IDAI,
Perinasia, dan IBI bekerja sama dalam berbagai kegiatan meningkatkan kesehatn
ibu dan bayi baru lahir. POGI telah memainkan peran utamanya dalam pengembangan
standar nasional dan pedoman pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir serta
pelatihan berbasis kompetensi bagi tenaga kesehatan, IBI berkontribusi dalam
pelatihan bidan.
c.
Lembaga donor
Lembaga donor member bantuan kepada
departemen kesehatan melalui berbagai proyek. Bantuan yang diberikan meliputi
bantuan teknis, financial dan materi, bergantung pada tujuan lembaga-lembaga
tersebut serta keuntungan komparatif. Tantangan yang berhubungan dengan bantuan
luar negeri meliputi koordinasi antara pihak pemerintah dan lembaga donor.
Upaya ini seringkali mengakibatkan kegiatan yang terkotak-kotak dan kegiatan
yang tumpang tindih, penggunaan sumber daya yang tidak efektif dan kesulitan
dalam memanfaatkan hasil kajian kegiatan untuk perbaikan program dan perluasan
intervensi.5
2.2 Safe Motherhood
2.2.1 Definisi Safe
Motherhood
Berbagai upaya terus diusahakan dalam rangka
menurunkan angka kematian ibu. Salah satunya adalah mengimplementasikan
program Safe Motherhood. Safe Motherhood
adalah usaha-usaha yang dilakukan agar seluruh perempuan menerima perawatan
yang mereka butuhkan selama hamil dan bersalin. Program itu terdiri dari empat
pilar yaitu:
ü
Keluarga berencana,
ü
Pelayanan antenatal,
ü
Persalinan yang aman, dan
ü
Pelayanan obstetri esensial.
Menurut the International Classification
of Diseases and Related Health Problems, Tenth Revision, 1992 (ICD-10) WHO
mendefinisikan kematian ibu sebagai “kematian wanita hamil atau dalam 42 hari
setelah persalinan, tanpa memandang lama dan tempat terjadinya kehamilan yang
disebabkan oleh atau dipicu oleh kehamilannya atau penanganan kehamilannya,
tetapi bukan karena kecelakaan”. Menurut pengertian ini penyebab kematian ibu
dapat dibagi menjadi penyebab langsung maupun tak langsung.2
Penyebab kematian langsung yaitu setiap
komplikasi persalinan disetiap fase kehamilan (kehamilan, persalinan dan pasca
persalinan), akibat tindakan, kesalahan pengobatan atau dari kesalahan yang
terjadi disetiap rangkaian kejadian diatas. Contohnya seperti perdarahan,
pre-eklamsia/eklamsia, akibat komplikasi anestesi atau bedah kaisar,
perdarahan, sepsis, kelahiran prematur akibat hipertensi, lahir mati, dan
komplikasi akibat aborsi yang tidak aman menjadi penyebab langsung yang
berkontribusi pada 80% kematian.
Penyebab kematian tak langsung yaitu akibat penyakit lain
yang telah ada sebelumnya atau berkembang selama kehamilan dan yang tidak
berhubungan dengan penyebab langsung tetapi dipicu secara fisiologis oleh
kehamilan. Contohnya seperti kematian akibat penyakit ginjal atau jantung.2,5
2.2.2 Pelajaran dari Upaya safe Motherhood
Walaupun berbagai upaya telah dilaksanakan, angka
kematian ibu di berbagai Negara berkembang masih tetap tinggi atau penurunannya
sangat lambat. Safe Motherhood Technical
Consultation yang diadakan di Colombo, 1997, mengidentifikasi beberapa isu
kunci sebagai berikut.1
·
Kurang jelasnya prioritas serta intervensi
program safe motherhood yang kurang terarah dan kurang efektif.
·
Kurangnya informasi tentang intervensi yang
mempunyai dampak bermakna dan segera dalam menurunkan kematian ibu.
·
Strategi safe motherhood kadang-kadang
terlalu luas, mulai dari meningkatkan status perempuan, memperbaiki
undang-undang, memperluas pelayanan kesehatan maternal, dan memperluas
pelayanan emergensi.
·
Beberapa program yang khusus dalam pelayanan
kesehatan maternal ternyata dikemudian hari tidak atau kurang efektif, seperti
penapisan risiko pada asuhan antenatal dan pelatihan dukun.
·
Tidak dilakukannya intervensi yang sebenarnya efektif seperti
penanganan komplikasi aborsi karena masih dianggap sebagai isu yang sensitif.
·
Tidak tersedianya panduan teknis atau
program, kurikulum pelatihan dan sumber lain secara luas.
·
Kurangnya komitmen politik dari penentu
kebijakan.
·
Kurangnya koordinasi dan komitmen diantara
pemerintah dan lembaga donor.
2.2.3 Penyebab Kematian dan kesakitan Ibu dan
Bayi serta Upaya Intervensi
Penyebab kematian dan kesakitan ibu dan bayi telah
dikenal sejak dahulu dan tidak berubah banyak. Penyebab kematian ibu adalah
perdarahan postpartum, eklampsia, infeksi, aborsi tidak aman, partus macet, dan
sebab-sebab lain seperti kehamilan ektopik dan mola hidatidosa. Keadaan diatas
diperkuat dengan kurang gizi, malaria dan penyakit-penyakit lain seperti
tuberculosis, penyakit jantung, hepatitis, asma, atau HIV. Pada kehamilan
remaja lebih sering terjadi komplikasi seperti anemia dan persalinan preterm.
Sementara itu, terdapat berbagai barier yang mengurangi akses memperoleh
pelayanan kesehatan maternal bagi remaja, kemiskinan, kebodohan, kesenjangan
hak asasi pada remaja permpuan, kawin pada usia muda, dan kehamilan yang tidak
diinginkan.4
Kematian pada bayi
baru lahir disebabkan oleh tidak adekuatnya dan tidak tepatnya asuhan pada
kehamilan dan persalinan, khususnya pada saat-saat kritis persalinan. Penyebab
utama kematian bayi baru lahir adalah infeksi (tetanus, sepsis, meningitis,
pneumonia, sifilis congenital), asfiksia, dan trauma sewaktu persalinan,
prematuritas dan/atau berat badan lahir rendah, dan kelainan bawaan. Konsumsi
alcohol dan merokok merupakan penyebab kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru
lahir yang seharusnya dapat dicegah. Ibu perokok berhubungan dengan komplikasi
seperti perdarahan, ketuban pecah dini, dan persalinan preterm. Juga dapat
berakibat pertumbuhan janin terhambat, berat badan lahir rendah, serta kematian
janin. Konsumsi alcohol selama kehamilan berhubungan dengan abortus, lahir
mati, prematuritas, dan kelainan bawaan (fetal alcohol syndrome).4
Intervensi seyogyanya dapat dilakuakn oleh tenaga
kesehatan terlatih, dengan teknologi sederhana, dan sumber daya terbatas.
Perdarah postpartum dicegah dengan mengobati anemia dalam kehamilan, penanganan
aktif kala III dan pemberian obat-obat seperti misoprostol. Infeksi dicegah dan
mempraktikan kewaspadaan standar (persalinan bersih dan aman), aborsi tidak
aman dicegah dengan asuhan pascakeguguran, eklampsia diatasi dengan MgSO4 dan
terminasi kehamilan, persalinan macet dengan PONEK. Penyebab kematian neonatal
seperti infeksi dapat dicegah dengan imunisasi tetanus toxoid, kewaspadaan
standar, ASI ekslusif; asfiksia dan trauma persalinan dicegah dengan PONED; dan
persalinan premature/BBLR dengan deteksi dini dan penanganan komplikasi. Bayi
lahir mati dapat diintervensi dengan penanganan efektif komplikasi obstetric
dan asuhan antenatal yang baik.4
Penanganan
efektif komplikasi obstetric bukan saja dapat mencegah kematian ibu tetapu juga
dapat mencegah morbiditas. Misalnya rujukan yang tepat pada partus macet dapat
mencegah fistula vesiko atau rektovaginal. Contoh lain intervensi gizi,
menghentikan merokok atau konsumsi alcohol, vaksinasi rubella sebelum kehamilan
pertama, mengurangi beban fisik pada trimester ketiga kehamilan dapat
mengurangi kesakitan ibu.4
2.2.4 Peran Sektor Kesehatan pada Upaya Safe
Motherhood
Peran sektor kesehatan dalam upaya menurunkan kematian
dan kesakitan ibu dan bayi baru lahir dalam menjamin tersedianya pelayanan
obstetric neonatal esensial yang bermutu baik. Tersedianya tenaga kesehatan
yang terlatih pada persalinan sangat penting untuk deteksi dinidan penanganan
tepat cepat komplikasi yang dapat terjadi. Komplikasi pada persalinan
kadang-kadang terjadi tanpa dapat diketahui atau diperkirakan sebelumnya.
Dengan demikian, peran sektor kesehatan pada upaya penurunan mortalitas dan
morbiditas ibu dan bayi baru lahir meliputi hal-hal sebagai berikut.2
·
KIE dan pelayanan Keluarga Berencana yang
berfokus pada klien, termasuk pria dan remaja.
·
Konseling kontrasepsi dan asuhan
pascakeguguran.
·
Asuhan ante dan postnatal yang lebih
difokuskan pada Birth Preparedness dan Complication readiness. Asuhan postnatal
mencakupi pula dukungan dan konseling pemberian ASI, pencegahan/deteksi dini
komplikasi, dan konseling kontrasepsi.
·
Tersedianya tenaga kesehatan yang
terlatihpada setiap persalinan bersih dan aman, dan menangani komplikasi jika
diperlukaan.
·
Pelayanan yang adekuat difasilitas rujukan,
termasuk sedianya fasilitas transfuse darah dan tindakan sectio sesarea.
·
Tersedianya akses dari semua perempuan hamil
terhadap fasilitas kesehatan tersebut, termasuk transportasi, factor-faktor
sosio budaya, dan kemampuan si ibu untuk mengambil keputusan, factor biaya,
perilaku terhadap pelayanan kesehatan dan lain-lain.
Ada dua
alasan yang menyebabkan Safe Motherhood perlu mendapat perhatian. Pertama,
besarnya masalah kesehatan ibu dan bayi baru lahir serta dampak yang
diakibatkannya. Data menunjukkan bahwa seperempat dari wanita usia reproduktif
di negara berkembang mengalami kesakitan yang berhubungan dengan kehamilan,
persalinan, dan nifas. Dampak sosial dan ekonomi kejadian ini sangat besar,
baik bagi keluarga, masyarakat, maupun angkatan kerja di suatu negara.
Keberadaan seorang ibu merupakan tonggak utama untuk tercapainya keluarga yang
sejahtera dan kematian seorang ibu merupakan suatu bencana bagi keluarganya.
Kedua, Safe Motherhood pada hakikatnya merupakan intervensi yang efisien dan
efektif dalam menurunkan angka kematian ibu.2
2.2.5 Peran laki-laki dalam program safe
motherhood (keselamatan ibu)
Laki-laki sebagai suami ikut berperan dalam kehidupan dan
kesehatan istrinya dan juga dalam kesehatan anak-anak mereka. WHO memperkirakan
585.000 perempuan meninggal setiap hari akibat komplikasi kehamilan, proses
kelahiran, dan aborsi yang tidak aman – sekitar satu perempuan meninggal setiap
menit. Hampir semua kasus kematian ini sebenarnya dapat dicegah.2
Pada beberapa negara terutama di negara berkembang,
kehamilan dengan komplikasi merupakan penyebab kematian yang utama pada
perempuan usia reproduksi. Ribuan perempuan menderita penyakit dan
ketidakmampuan yang serius, termasuk nyeri panggul kronis, penyakit radang
panggul, incontinence, dan kemandulan yang disebabkan oleh kehamilan atau
akibat komplikasinya. Kematian ibu menurut WHO adalah kematian yang
terjadi saat hamil, bersalin, atau dalam 42 hari pasca persalinan dengan
penyebab yang berhubungan langsung atau tudak langsung terhadap kehamilan.
Perdarahan, sepsis, kelahiran prematur akibat hipertensi, lahir mati, dan
komplikasi akibat aborsi yang tidak aman menjadi penyebab langsung yang
berkontribusi pada 80% kematian . Keselamatan ibu berisi jaminan kesehatan yang
baik bagi perempuan sebagai ibu dan dan bayinya selama hamil, persalinan dan
masa setelah persalinan. Suami memainkan banyak peran kunci selama masa
kehamilan dan persalinan istri serta setelah bayi lahir. Keputusan dan tindakan
mereka berpengaruh terhadap kesakitan dan kesehatan, kehidupan dan kematian ibu
dan bayinya.1,2
Langkah awal yang dapat dilakukan oleh laki-laki dalam
mempromosikan keselamatan ibu adalah merencanakan keluarganya. Pembatasan
kelahiran dan membuat jarak kelahiran paling sedikit 2 tahun, baik untuk
menjaga kesehatan ibu dan anak, mengingat setiap kehamilan membawa risiko
kesehatan yang potensial untuk ibu, walaupun ibu tersebut terlihat sehat dan
berrisiko rendah. Kehamilan yang tidak direncanakan seringkali menjadi
berisiko karena akan membawa mereka untuk melakukan aborsi. Komplikasi aborsi
yang tidak aman menyebabkan 50.000 hingga 100.000 kematian setiap tahun.2,5
·
Mendukung Penggunaan Kontrasepsi.
Suami sebaiknya ikut menemani istrinya menemui konselor keluarga
berencana atau petugas kesehatan. sehingga mereka bisa bersama-sama mengetahui
metode kontrasepsi yang tersedia dan memilih salah satu metode yang tepat.
Seorang suami juga dapat mendukung pasangannya dalam menggunakan metode modern
secara benar (seperti, membantu istrinya mengingatkan kapan harus meminum pil
KB setiap harinya), suami juga dapat menggunakan metode kontrasepsi untuk
dirinya sendiri, atau mendukung istri untuk mempraktekkan metode pantang
berkala. Suami seharusnya memotivasi istrinya untuk meminta pertolongan kepada
petugas kesehatan bila merasakan efek samping akibat pemakaian alat
kontrasepsi.
Ketika istrinya hamil, suami dapat
mendukung istri agar mendapatkan pelayanan antenatal yang baik, menyediakan
transportasi atau dana untuk biaya konsultasi. Suami seharusnya menemani
istrinya konsultasi, sehingga suami juga dapat belajar mengenai gejala dan
tanda-tanda komplikasi kehamilan. Gizi yang baik serta istirahat cukup penting
bagi ibu selama masa kehamilan. Suami ikut berperan agar istrinya dapat
melahirkan bayi yang sehat dengan menjamin istrinya mendapatkan makanan yang
bergizi, terutama makanan yang banyak mengandung zat besi dan vitamin
A. Anemia, walaupun bukan merupakan penyebab langsung kematian ibu, namun
merupakan faktor penyebab kematian. Ibu yang anemi berisiko lima kali lebih
besar untuk meninggal dibandingkan dengan ibu yang tidak anemi.23 Vitamin A
penting untuk kesehatan ibu dan janin. Seorang ibu membutuhkan vitamin A yang
cukup untuk menunjang per-kembangan kesehatan bayi dan untuk kesehatannya
sendiri, khususnya untuk kesehatan mata dan sistem kekebalan tubuh. Rabun malam
pada ibu hamil adalah gejala kekurangan vitamin A. Suplemen pil vitamin A dalam
masa kehamilan, dapat menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Sebuah studi
tentang kesehatan ibu di bagian selatan Nepal menemukan bahwa vitamin A dosis
rendah atau beta-carotene tambahan dan bahan pangan yang banyak mengandung
vitamin A dapat menurunkan persentase kematian ibu rata-rata 44%.
·
Mempersiapkan perawatan yang terlatih selama
persalinan.
Pada negara-negara berkembang,
kebanyakan ibu-ibu yang akan melahirkan tidak dibantu oleh tenaga yang
terlatih, melainkan ditolong oleh dukun beranak atau anggota keluarga.
Kehadiran tenaga terlatih selama proses kelahiran dapat membuat suatu perbedaan
antara kehidupan dan kematian. Suami berperan dalam mempersiapkan tenaga
terlatih agar hadir pada saat persalinan dan membiayai pelayanan
yang diberikan. Suami juga harus mempersiapkan transportasi serta
mencukupi perlengkapan yang dibutuhkan.
Keterlambatan sering kali berkontribusi
terhadap kematian ibu ketika terjadi komplikasi kehamilan. Tiga jenis
keterlambatan yang berisiko terhadap kesehatan ibu, yaitu terlambat untuk
mencari pertolongan, terlambat mendapatkan pelayanan pada fasilitas kesehatan,
dan terlambat mendapatkan pertolongan yang memadai pada fasilitas kesehatan.
Suami dan anggota keluarga lainnya memegang peranan yang penting dalam
mendapatkan pelayanan sesegera mungkin. Suami biasanya menjadi pemegang
keputusan ketika kondisi istri dalam keadaan membutuhkan pertolongan kesehatan
segera. Suami juga yang memutuskan transportasi apa yang akan digunakan untuk
mencapai tempat pelayanan kesehatan. Suami dapat menghindari keterlambatan
tersebut dengan cara mengenali gejala-gejala persalinan imminen dan persalinan
dengan komplikasi.
Kebanyakan kematian ibu yang terjadi
antara tiga hari setelah persalinan, disebabkan karena adanya infeksi atau
perdarahan. Hasil penelitian terbaru menemukan kematian ibu dapat
dicegah bila suami dapat mengenal komplikasi-komplikasi potensial setelah
persalinan dan selalu siaga untuk mencari pertolongan jika hal tersebut
terjadi. Suami juga berperan agar istrinya mendapatkan makanan yang bergizi.
Pada masa menyusui, seorang ibu membutuhkan vitamin A tambahan untuk menjaga
agar vitamin-vitamin yang diperlukan dapat diterima dengan baik oleh bayinya.
Selama periode pasca persalinan, suami dapat membantu pekerjaan rumah tangga
yang berat seperti mengumpulkan kayu dan air serta menjaga anak-anak.
Mereka juga dapat mendorong istri untuk memberikan ASI agar dapat menolong
kontraksi uterus. Pada akhirnya, suami harus mulai memikirkan metode
kontrasepsi, baik berupa metode sementara untuk memberikan jarak terhadap
kelahiran yang berikutnya atau bila mungkin vasektomi jika tidak mengi-nginkan anak
lagi.
·
Menjadi Ayah yang bertanggung jawab
Sebagai sorang ayah, laki-laki
menentukan tingkat kesehatan anak-anaknya. Seorang ayah dapat lebih terlibat
dalam perkembangan kesehatan anak-anaknya, sebagai contoh, memastikan bahwa
anak-anak mereka menerima semua kebutuhan imunisasinya. Sebuah studi di Ghana,
menemukan bahwa semakin banyak pengetahuan seorang ayah, semakin besar peran
mereka dalam memutuskan untuk mengimunisasikan anak-anaknya.
Di Amerika Serikat, Baltimore’s Urban
Fatherhood Program mendorong laki-laki muda agar lebih bertanggung jawab
sebagai ayah dengan mempromosikan peran laki-laki yang positif. Anggota program
tersebut dimana banyak diantara mereka adalah remaja yang telah menjadi seorang
ayah, mendorong rekan-rekannya untuk menjadi seorang ayah yang baik melalui
kelompok-kelompok dukungan, konseling, dan kelas yang menyajikan materi
kete-rampilan hidup. Mereka juga mengajarkan tentang fertilitas, reproduksi,
siklus menstruasi, kehamilan, gizi bayi serta perawatannya. Di Newark, New Jersey,
program serupa juga mengajarkan ayah-ayah muda mengenai kontrasepsi termasuk
menggunakan kondom dengan benar.
Ayah, sebagai panutan, dapat membantu
kehidupan sosiali anak-anaknya. Secara khusus, seorang ayah dapat mengajarkan
anak laki-lakinya agar menghormati perempuan dan memperlakukan mereka sebagai
manusia yang setara, mendukung anak perempuannya untuk bersekolah dan berperan
aktif dalam keluarga. Dengan begitu, seorang ayah ikut mewujudkan status
perempuan yang setara dan menjadikan masa depan anak perempuannya lebih baik.2,4,5
2.3 Pelayanan obstetri esensial
Pelayanan obstetri esensial/ Essential Obstetric Care (EOC) atau
Pelayanan obstetri esensial komprehensif/ Comprehensive
essential obstetric care (CEOC) tidak hanya menyediakan sarana untuk mengelola komplikasi
darurat, tetapi juga mencakup prosedur untuk deteksi dini dan pengobatan untuk
mencegah terjadinya masalah dalam kehamilan seperti anemia, preeklampsia, dan
persalinan lama, termasuk dalam hal bedah, anestesi, dan transfusi darah.3
EOC terdiri atas perawatan terhadap
kedaruratan obstetri (kegawatdaruratan kebidanan) atau disebut dengan Emergency Obstetric Care (EmOC).
Pelayanan ini menangani komplikasi yang tak terduga dalam persalinan seperti
perdarahan. Selain itu, EOC terdiri atas pelayanan obstetrik dasar esensial/ Basic Essential Obstetric Care (BEOC).
Pelayanan ini meliputi semua elemen EOC kecuali penanganan yang memerlukan
operasi, anestesi dan transfusi darah. Layanan ini meliputi unsur-unsur
pencegahan yang dapat disediakan pada tingkat rujukan pertama (Puskesmas, rumah
bersalin, atau rumah sakit dasar) melalui penyedia non-dokter, misalnya bidan.
Pelayanan ini tidak menuntut tenaga spesialis ataupun ruang operasi dan
fasilitas yang lengkap, karena itu memiliki potensi untuk berada di sekitar
lingkungan tempat tinggal dan memberikan pelayanan yang lebih dekat terhadap
ibu hamil.3
EOC harus memberikan pelayanan yang lebih
untuk ibu hamil dan melahirkan beserta bayi yang baru lahir. EOC juga harus
mencegah perkembangan komplikasi yang lebih serius. Hal ini tentunya
membutuhkan pelatihan baik spesialis maupun penyedia lini depan untuk membentuk
sebuah tim dalam memberikan semua tingkat perawatan dan juga mencakup sistem
rujukan yang efektif. Dalam
konteks sistem rujukan, staf medis terlatih (perawat,
bidan atau dokter umum) yang terletak di puskesmas atau rumah sakit umum harus mampu memberikan perawatan penting dasar yang berkualitas sehingga dapat mengurangi jumlah rujukan dan mengurangi kematian ibu.3
bidan atau dokter umum) yang terletak di puskesmas atau rumah sakit umum harus mampu memberikan perawatan penting dasar yang berkualitas sehingga dapat mengurangi jumlah rujukan dan mengurangi kematian ibu.3
Sistem kesehatan yang tidak sesuai disertai dengan
peningkatan angka kematian ibu merupakan suatu indikasi untuk mengevaluasi EOC
dasar sebelum memulai
EOC yang komprehensif. Hal ini juga dapat menjadi sarana pendekatan yang efektif untuk pengaturan biaya serta menurunkan angka kematian ibu yang masih tinggi di sejumlah tempat. Pemberian pelayanan ini tentu saja berkaitan dengan infrastruktur yang tersedia, keterampilan sumber daya, dan pola melahirkan yang ada. Jika mayoritas wanita biasa melahirkan di rumah dengan pihak pembantu persalinan yang tidak terampil secara medis maka upaya pelayanan perlu dipindahkan lebih dekat kepada mereka; karenanya EOC dasar lebih ditekankan. Jika mayoritas melahirkan di rumah sakit, maka keterampilan sumber daya pelayanan di tingkat primer juga harus ditingkatkan. Apabila pelayanan dasar sudah cukup baik, pelayanan dapat lebih ditingkatkan dengan penyediaan penanganan terhadap kegawatdaruratan kebidanan.3
EOC yang komprehensif. Hal ini juga dapat menjadi sarana pendekatan yang efektif untuk pengaturan biaya serta menurunkan angka kematian ibu yang masih tinggi di sejumlah tempat. Pemberian pelayanan ini tentu saja berkaitan dengan infrastruktur yang tersedia, keterampilan sumber daya, dan pola melahirkan yang ada. Jika mayoritas wanita biasa melahirkan di rumah dengan pihak pembantu persalinan yang tidak terampil secara medis maka upaya pelayanan perlu dipindahkan lebih dekat kepada mereka; karenanya EOC dasar lebih ditekankan. Jika mayoritas melahirkan di rumah sakit, maka keterampilan sumber daya pelayanan di tingkat primer juga harus ditingkatkan. Apabila pelayanan dasar sudah cukup baik, pelayanan dapat lebih ditingkatkan dengan penyediaan penanganan terhadap kegawatdaruratan kebidanan.3
Pemberian pelayanan ini didasarkan akibat
pelaksanaan pelayanan obstetrik tampak masih sulit dilakukan karena kurangnya
persediaan, peralatan, dan sumber daya yang penting untuk memberikan perawatan
dan menyelamatkan nyawa seorang ibu yang dalam keadaan darurat kebidanan. Unit
pelayanan persalinan yang komprehensif bertujuan untuk memberikan semua
komponen perawatan obstetrik darurat dalam batas standar.6
Sekitar 15% dari semua wanita hamil mengalami
komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa yang membutuhkan perawatan terampil
dan beberapa akan memerlukan intervensi obstetrik yang khusus. Sekitar 1 dari
1.000 perempuan meninggal karena komplikasi pada masa kehamilan atau
melahirkan. Hal ini terjadi terutama pada negara-negara dengan sumber daya yang
rendah. Meningkatkan kesehatan ibu adalah salah satu dari delapan Millennium
Development Goals (MDGs) yang diadopsi oleh organisasi internasional pada tahun
2000. Komponen kelima dari MDGs adalah untuk menurunkan 75% angka kematian ibu.
Darurat kebidanan (kegawatdaruratan kebidanan), program keluarga berencana, dan
pertolongan persalinan yang terampil adalah tiga intervensi utama yang telah
dilaksanakan secara global untuk mengurangi angka kematian ibu..6
Dalam
kasus kematian maternal, terdapat tiga hal keterlambatan yang penting
dikaitkan:
1. Keterlambatan dalam mencari pelayanan kesehatan
1. Keterlambatan dalam mencari pelayanan kesehatan
2. Terlambat mencapai fasilitas kesehatan.
3. Keterlambatan dalam memperoleh perawatan
yang tepat setelah mencapai fasilitas kesehatan.6
Dua penundaan pertama adalah masalah akses,
yang tergantung pada pasien, keluarganya, masyarakat, dan transportasi yang
aman dan dapat diandalkan. Penundaan ketiga berkaitan dengan faktor-faktor di
fasilitas kesehatan,misalnya3:
·
Keterlambatan diagnosis.
·
Protokol klinis yang tidak sesuai.
·
Staf kurang terlatih.
·
Kegagalan untuk mempekerjakan staf medis dan
bedah yang cukup.
·
Kurangnya obat esensial, peralatan, dan
perlengkapan.
Program intervensi harus mengatasi
masalah-masalah terssebut serta memiliki program yang berkelanjutan dan
keberhasilan yang terukur. Karena hal demikian, PBB telah menentukan
pengembangan layanan kegawatdaruratan kebidanan sebagai prioritas dan berpusat
untuk mengatasi ketiga keterlambatan utama yang menjadi penyebab masalah pada
kematian maternal. Standar dan pedoman untuk kegawatdaruratan kebidanan telah
ada selama beberapa dekade dan menjadi landasan dalam pelaksanaan dasar
kegawatdaruratan kebidanan (PoNeD) dan PONEK (PoNeK). WHO merekomendasikan
panduan berikut untuk tingkat minimum layanan kegawatdaruratan kebidanan7:
· Harus
ada setidaknya empat fasilitas PoNeD dan satu fasilitas PoNeK per 500.000
penduduk.
· Tingkat
fasilitas minimum juga harus dipenuhi di daerah subnasional.
· Setidaknya
15% dari semua kelahiran dalam populasi harus dilakukan di fasilitas
kegawatdaruratan kebidanan.
· 100%
dari perempuan yang memiliki komplikasi kebidanan harus dirawat di fasilitas
kegawatdaruratan kebidanan.
· Angka
kematian maternal di fasilitas kegawatdaruratan kebidanan harus kurang dari 1%.
Standar dan pedoman untuk kegawatdaruratan
kebidanan sampai saat ini masih sangat sulit untuk diterapkan. Sejak tahun
1997, jarang sekali negara yang memenuhi kriteria tersebut. Namun yang
terpenting adalah kemudahan bagi perempuan untuk memiliki akses ke fasilitas
PoNeD di mana mereka dapat menerima perawatan untuk beberapa keadaan darurat
dan pertolongan pertama dalam hal kebidanan sampai mereka dapat mencapai
fasilitas rujukan yang memadai dan aman. Banyak unit telah digambarkan sebagai
unit kebidanan tetapi memiliki kekurangan mengerikan persediaan, peralatan, dan
staf. Bahkan ketika angka fasilitas telah memadai, penentuan lokasi dan jumlah
sumber daya sering kali masih menjadi masalah.7
Untuk memenuhi target pelayanan obstetri yang
ada, fasilitas pelayanan harus memiliki berikut8:
- Air.
- Listrik.
- Sebuah
lingkungan yang steril (udara bersih, seprai bersih)
- Peralatan
untuk memberikan anestesi yang aman (monitor, oksigen, suction,
ventilator, obat-obatan, perlengkapan intravena).
- Instrumen
bedah yang tepat (kauter, gaun, sarung tangan, benang, jarum).
- Peralatan
resusitasi neonatal.
- Kemampuan
laboratorium dasar.
- Kapasitas
untuk memberikan transfusi darah bila diperlukan.
Pengaturan penyediaan bahan habis pakai dan
obat-obatan diperlukan untuk keberhasilan pengimplementasian layanan. Advokasi
di tingkat pemerintah juga diperlukan untuk memastikan bahwa kementerian
kesehatan setempat turut bertanggung jawab untuk kelanjutan fasilitas yang
ada. Rumah sakit yang berada di negara-negara berpenghasilan tinggi telah
mempertimbangkan bahwa layanan perbaikan teknologi sama pentingnya dengan
keberadaan ahli bedah. Namun donor seringkali mengirimkan teknologi yang
bersifat kompleks untuk rumah sakit yang masih kekurangan sumber daya sehingga
alat-alat tersebut tidak dapat digunakan.
Untuk itu diperlukan cara untuk melepaskan diri dari siklus yang cukup
boros ini, antara lain9:
- Standarisasi
perawatan melalui perangkat yang efektif, handal, dan mudah diperbaiki dan
diganti.
- Memperkuat
kapasitas pelayanan kesehatan setempat dengan menambahkan infrastruktur
dan ruang perawatan fisik.
- Memperluas
pelatihan teknisi biomedis.
- Menyampaikan
modul pelatihan standar untuk implementasi teknologi tepat guna.
- Memberikan
peralatan komunikasi untuk mengakses dukungan keputusan dan layanan
dukungan teknis.
Parameter kesehatan juga harus dievaluasi
untuk pengembangan pelayanan obstetri di setiap wilayah. Parameter tersebut
antaralain9:
·
Angka kematian ibu (AKI).
·
Jumlah rujukan dari fasilitas kesehatan.
·
Jumlah bedah sesar dan persalinan yang
dibantu.
·
Perdarahan pada saat persalinan
·
Usia ibu.
·
Prevalensi komplikasi kebidanan.
·
Perkiraan usia kehamilan pada saat
persalinan.
·
Angka kematian janin.
·
Berat janin.
·
Skor Apgar.
2.4 Peranan Puskesmas
Puskesmas telah
dikenal masyarakat sebagai tempat memperoleh layanan kesehatan secara umum
yang murah, sederhana, dan mudah terjangkau terutama bagi kalangan kurang
mampu. Sejak pertama kali dicetuskan, puskesmas ditargetkan menjadi unit
pelaksana teknis pelayanan tingkat pertama/terdepan dalam sistem kesehatan
nasional. Maka dari itu, puskesmas juga menjadi salah satu mata rantai
pelayanan kesehatan dalam upaya menurunkan angka kematian ibu melalui
program-programnya yang mengacu pada empat pilar Safe Motherhood. Dalam pilar
pelayanan obstetri esensial, puskesmas menekankan kebijakan berupa3:
1.
Memberikan pelayanan kesehatan untuk semua
macam penyakit obstetri
2.
Khusus untuk obstetri harus mampu melakukan:
a)
Pelayanan obstetri esensial darurat (POED)
·
Melakukan pertolongan persalinan sungsang
·
Melakukan pertolongan persalinan vakum
ekstraksi
·
Melakukan plasenta manual
·
Memasang infus dan memberikan obat
parenteral
·
Meneruskan sistem rujukan bila fasilitas
tidak memadai
b)
Pelayanan Obstetri dan Neonatus Esensial
Darurat (PONED)Merupakan pelayanan POED ditambah dengan melakukan pelayanan
neonatus yang mengalami asfiksia ringan, sedang, dan berat. Bila tidak
memungkinkan, segera melakukan rujukan.
c)
Melaksanakan konsep sayang ibu dan sayang
bayi.
Secara
keseluruhan, keempat tonggak tersebut merupakan bagian dari pelayanan kesehatan
primer. Dua di antaranya, yaitu asuhan ante-natal dan persalinan bersih dan
aman, merupakan bagian dari pelayanan kebidanan dasar. Sebagai dasar/fondasi
yang dibutuhkan untuk menca-pai keberhasilan upaya ini adalah pemberdayaan
wanita.3
DAFTAR PUSTAKA
1.
Unicef Indonesia. Ringkasan kajian :
Kesehatan Ibu & Anak, Oktober 2012. Available at : http://www.unicef.org/indonesia/id/A5_-_B_Ringkasan_Kajian_Kesehatan_REV.pdf. [Accessed
on 30 June 2016].
2.
World Health
Organization. Essential Obstetric Care. Available at : http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs245/en/. [Accessed
on 4 July 2016].
3.
Stanton ME,
Koblinsky M. Essential Obstetric Care and Subsets - Basic and Emergency
Obstetric Care: What’s the Difference? Available at : http://www.jsi.com/intl/mothercare. [Accessed on 4 July 2016].
4.
Departemen
Kesehatan RI,Setiap Jam 2 Orang Ibu Bersalin Meninggal Dunia. Available at : http: //www.depkes.go.id/index.php?option
=news&task= viewarticle&sid=448&Itemid=2.
5.
Purnomo
W. Presentasi Safe motherhood (Upaya Penurunan Kematian Ibu dan
Bayi Baru Lahir), FKM Unair; 2006
- Adisasmita
A, Deviany PE, Nandiaty F, Stanton C, Ronsmans C. Obstetric near miss and
deaths in public and private hospitals in Indonesia. BMC Pregnancy and Childbirth.
2008;8.
- World
Health Organization (WHO). Monitoring Emergency Obstetric
Care: A Handbook. Geneva: WHO;
2009.
- Malkin
RA. Barriers for medical devices for the developing world. Expert Review of Medical Devices. 2007;4(6):759–763.
- Program
for Appropriate Technology in Health Oraganization. Comprehensif Emergency
Obstetric Care. Available at: http://sites.path.org/mnhtech/files/2013/08/cEmOC_FINAL_5May2013.pdf.
Accessed July 1st 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar