Rabu, 20 Maret 2019

MAKALAH PERAN PELAYANAN OBSTETRI ESENSIAL DALAM UPAYA MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN MATERNAL DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

             Setiap jam, satu perempuan meninggal dunia ketika melahirkan atau karena sebab-sebab yang berhubungan dengan kehamilan. Rasio kematian ibu, yang diperkirakan sekitar 228 per 100.000 kelahiran hidup, tetap tinggi di atas 200 selama dekade terakhir, meskipun telah dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan ibu.1
            WHO mengembangkan konsep safe motherhood untuk menggambarkan ruang lingkup upaya penyelamatan ibu dan bayinya. Salah satu pilar dari safe motherhood adalah pelayanan obstetri esensial. Pelayanan obstetri esensial adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan unsur pelayanan kebidanan yang diperlukan pada penanganan  persalinan normal dan komplikasi kehamilan, kelahiran dan masa nifas.2
            Pelayanan obstetri esensial diperuntukkan bagi ibu yang mengalami kehamilan risiko tinggi atau komplikasi diupayakan agar berada dalam jangkauan setiap ibu hamil. Pelayanan obstetri esensial meliputi kemampuan fasilitas pelayanan kesehatan untuk melakukan tindakan dalam mengatasi risiko tinggi dan komplikasi kehamilan dan persalinan.3
            Tidak hanya menyediakan sarana untuk mengelola apabila terjadi komplikasi darurat, pelayanan obstetri juga mencakup prosedur untuk deteksi dini dan pengobatan untuk mencegah perkembangan kehamilan masalah untuk tingkat keadaan darurat. Perawatan obstetri esensial termasuk deteksi dini dan pengobatan atau rujukan dari masalah seperti anemia, preeklampsia, dan persalinan lama, serta bedah, anestesi, dan penggantian darah.3
            Pelayanan dasar obstetri esensial meliputi semua elemen pelayanan obstetri esensial kecuali tindakan operasi, anestesi dan penggantian darah. Pelayanan ini meliputi unsur-unsur pencegahan dan dapat disediakan pada tempat rujukan  tingkat pertama. melalui tenaga medis non-dokter, seperti bidan yang terlatih secara medis.2
            Tanpa peran serta masyarakat, mustahil pelayanan obstetri esensial dapat menjamin tercapainya keselamatan ibu. Oleh karena itu, diperlukan strategi berbasis masyarakat yang meliputi keterlibatan anggota masyarakat khususnya wanita dan pelaksanaan pelayanan setempat, dalam upaya memperbaiki kesehatan ibu. Juga dibutuhkan kerjasama masyarakat, wanita, keluarga, dan dukun untuk mengubah sikap terhadap keterlambatan mendapat pertolongan. Dan tersedianya pendidikan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran tentang komplikasi obstetri serta kapan dan dimana mencari pertolongan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Determinan Kematian Ibu dan Bayi di Indonesia
v  Kematian ibu
Menurut SDKI 2002/03 pada periode 1998-2002 angka kematian ibu diperkirakan 307 per 100.000 kelahiran hidup. Terjadi penurunan jika dibandingkan dengan angka kematian ibu menurut SDKI 1994 sebesar 390 per 100.000. Namun, penurunan ini sangat lamban. Pada 1987 sewaktu upaya safe motherhood baru dimulai, angka kematian ibu di Indonesia diperkirakan 450 per 100.000.4
v  Kematian bayi dan anak
Angka kematian bayi turun 41% dalam 15 tahun terakhir dari 51/1.000 kelahiran hidup pada 1988-1992 menjadi 35/1.000 kelahiran hidup pada 1998-2002. Umumnya bayi yang lahir diperkotaan mempunyai angka kematian lebih rendah daripada yang lahir di pedesaan (masing-masing 32 dan 52/1.000).2
      Kematian anak juga berbeda antarprovinsi. Angka kematian balita tinggi di Nusa Tenggara Barat, Gorontalo dan Sulawesi Tenggara (masing-masing 103, 97 dan 92/1.000), sedangkan Bali paling rendah (19/1.000).2
      Angka kematian bayi turun bermakna jika jarak waktu antara kelahiran meningkat. Pada jarak kelahiran kurang dari 2 tahun, angka kematian bayi lebih dari 2 kali daripada pada jarak antarkelahiran lebih dari 2 tahun (masing-masing 102 dan 47/1.000 kelahiran hidup). Usia ibu juga mempengaruhi kelangsungan hidup anak. Kematian bayi yang lahir dari ibu berusia di bawah 20 tahun adalah 53/1.000, sedang pada ibu berusia 20-29 tahun dan 30-39 tahun ini masing-masing 39 dan 46/1.000. Pada ibu berusia 40-49 tahun, angka kematian bayi naik menjadi 50/1.000.2
v  Tingkat fertilisasi dan kecenderungan perkembangan
Menurut SDKI 2003, Tingkat Fertilisasi Total (TFR) di Indonesia adalah 2,6. Telah terjadi penurunan dari tahun-tahun sebelumnya seperti dapat dilihat pada Gambar 1.


TFR di pedesaan lebih tinggi daripada di perkotaan (2,7 berbanding 2,4). Sementara kelompok miskin mempunyai TFR lebih tinggi (3,0) jika dibandingkan dengan kelompok kaya (2,2). Ditinjau dari daerah, terdapat variasi cukup besar misalnya TFR di Nusa Tenggara Timur 4,1 sementara TFR di Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali telah mencapai replacement level 2,1. Secara keseluruhan TFR nasional lebih rendah daripada Myanmar (2,8), Malaysia (2,9), Filipina (3,5), Kamboja (4,0) dan Laos (4,7).5
v  Usia kawin dan hubungan seksual pertama
Berdasarkan SDKI 1997 dan 2002/2003 terdapat peningkatan rata-rata usia kawin pertama pada perempuan berusia 25-49 dari 18,6 menjadi 19,2 tahun. Di perkotaan usia tersebut adalah 20,3 tahun, sedangkan di pedesaan 18,3 tahun (SDKI 2002/2003).5
v  Usia persalinan pertama
Terjadi peningkatan usia persalinan pertama dari 20,8 tahun (1997) menjadi 21,0 tahun (2002/2003). Sementara persalinan usia remaja turun dari 12% (1997) menjadi 10% (2002/2003).5
v  Preferensi fertilitas
Separuh perempuan kawin menyatakan tidak menginginkan tambahan anak lagi dan 4% diantaranya telah menjalani sterilisasi. Empat puluh persen menyatakan masih ingin tambah anak, 13% dalam 2 tahun, dan 24% sesudah 2 tahun. Di antara perempuan yang telah mempunyai 2 anak, 58 % tidak ingin tambahan anak lagi atau telah disterilisasi. Pada mereka yang telah mempunyai 3 anak, angka ini adalah 79%.2,5

v  Kebutuhan pelayanan Keluarga Berencana
Kebutuhan yang tidak terpenuhi (unmet needs) adalah 9%, yang terdiri atas 5% antuk menghentikan fertilitas dan 4% menjarangkan. Angka ini kurang lebih sama dengan keadaan tahun 1997. Program nasional merencanakan penurunan unmet needs pelayanan KB dari 95 (1997) menjadi 7% (2004). Saat ini baru 11 provinsi yang telah mencapai angka tersebut, yaitu Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Utara. Jumlah keseluruhan kebutuhan KB, yaitu jumlah prevalensi kontrasepsi dan unmet needs, adalah 88%.5
v  Jarak kelahiran
Jarak kelahiran rata-rata adalah 54 bulan, lebih tinggi daripada tahun 1997 (45 bulan) dan tahun 1994 (42 bulan).5
v  Pengetahuan tentang Keluarga Berencana
Pengetahuan tentang metode kontrasepsi cukup tinggi. Pada 2002/2003, 99% perempuan kawin dan 96% pria kawin mengetahui paling sedikit 1 metode kontrasepsi modern. Kontrasepsi suntik dan pil merupakan metode yang paling dikenal (97%), diikuti AKDR dan implant (87%).5
v  Pemakaian Kontrasepsi
Menurut SDKI 2002/2003, 60% perempuan kawin saat ini menggunakan kontrasepsi, dibandingkan dengan 57% pada tahun 1997. Metode kontrasepsi yang paling banyak digunakan adalah kontrasepsi suntik ( 28%), pil (13%), dan AKDR (6%). Pemakaian kontrasepsi juga bervariasi antara provinsi. Lebih dari 65 % perempuan kawin menggunakan kontrasepsi di DI Yogyakarta, Sulawesi Utara, Bengkulu, Jawa Timur, dan Bangka Belitung. Sebaiknya, di Nusa Tenggara Timur angka ini hanya 35 %.5
v  Angka Ketidaklangsungan Pemakaian
Secara keseluruhan 21 % peserta KB menghentikan pemakaian kontrasepsi dalam 12 bulan sejak mulai penggunaan. Ketidaklangsungan pemakaian tertinggi adalah kondom (39%), pil (32%), dan kontrasepsi suntik (18%). Ketidaklangsungan pemakaian oleh karena kegagalan metode kontrasepsi terutama terjadi pada kondom.5
v  Asuhan Persalinan
Walaupun asuhan antenatal oleh tenaga kesehatan cukup tinggi, 6 dari 10 persalinan di Indonesia dilangsungkan di rumah, dengan perbandingan di desa dan di perkotaan 76% dan 40%. Dilihat dari tenaga penolong, terdapat kemajuan cukup banyak. Jika pada 1991 masih 64% persalinan ditolong oleh dukun, pada 2002/2003 angka ini turun menjadi 32%. Pertolongan oleh tenaga kesehatan ( dokter/ bidan ) naik dari 32 % (1991) menjadi 55% (2002/2003). Selain bervariasi antara daerah perkotaan dan pedesaan ( masing-masing 79% dan 55% ditolong oleh tenaga kesehatan) juga terdapat variasi antarprovinsi. Yang paling tinggi pertolongan oleh tenaga kesehatan adalah DKI Jakarta (94%), paling rendah di NTT dan Sulawesi Tenggara (55%). Dukun masih berperan di Gorontalo dan Jawa Barat (50%).5
v  Desentralisasi dan implikasinya terhadap pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir
Indonesia sedang menetapkan desentralisasi sesuai dengan Undang-Undang No. 22 dan No. 25 tahun 1999. Undang-Undang No.22 mengatur tentang desentralisasi ( pelimpahan wewenang ), dekonsentrasi ( pendelegasian wewenang ), dan otonomi daerah ( otonomi penuh untuk mengurus dan mengelola kebutuhan masyarakat sesuai kemampuan sendiri dalam batas-batas peraturan yang berlaku). Undang-Undang No.22 menekankan pada perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dengan memberikan otonomi penuh kepada pemerintah kabupaten/kota mengatur sumber daya lokal melalui bagi hasil dengan pemerintah pusat menurut ketentuan yang telah disepakati.4,5
Proses desentralisasi menuntut adanya perubahan peran dan tanggung jawab di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Departemen Kesehatan bertanggung jawab secara menyeluruh untuk pengembangan kebijakan kesehatan nasional, norma-norma serta standar, kerja sama lintas sektor, maupun pemanntauan dan evaluasi rencana kesehatan nasional.5
Dinas kesehatan Provinsi bertanggung jawab untuk memberikan bentuan teknis tentang masalah kesehatan yang penting. Undang-Undang yang baru tentang desentralisasi, menetapkan peran Dinas Kesehatan Provinsi dalam memfasilitasi tingkat kabupaten/kota untuk melaksanakan kewenangannya yang baru mengenai pengelolaan kesehatan. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bertanggung jawab penuh untuk merencanakan dan melaksanakan pelayanan kesehatan.5
v  Penyedian pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir di sektor pemerintah
Bidan di desa yang umumnya bertugas di polindes, memberikan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir dasar selama kehamilan, persalinan, dan nifas, maupun pertolongan pertama pada kasus kegawatdaruratan. Untuk memberikan pelayanan, petugas tersebut mendapat bidan kit, obat-obatan, dan bahan-bahan untuk pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir.5
Puskesmas pembantu sebagai satelit dari puskesmas memiliki beberapa petugas paramedis. Sebagian puskesmas pembantu yang memiliki tenaga bidan mampu memberikan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir seperti halnya bidan di desa.5
Puskesmas yang mempunyai dokter umum dan bidan, khususnya puskesmas dengan tempat tidur, mampu memberikan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergency Dasar, sedangkan puskesmas tanpa tempat tidur hanya memberikan beberapa elemen Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergency Dasar ( PONED ).5
Semua Rumah Sakit Kabupaten/Kota dan Provinsi yang mempunyai dokter spesialis obstetri dan ginekologi mampu memberikan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergency Komprehensif ( PONEK ).5
Sisitem pencatatan dan pelaporan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir meliputi kartu hamil, pencatatan persalinan termasuk partograf, pencatatan pertolongan persalinan dukun, kartu peserta KB, register kohort ibu dan register kohort bayi. Register-register ini memuat informasi tentang semua persalinan di wilayah kerja, baik yang dihimpun di puskesmas oleh bidan di desa maupun melalui jalur lain seperti kader dan dukun bayi.5
Untuk menjamin pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir yang berkualitas telah dikembangkan sistem jaminan mutu dan secara rutin dilakukan melalui kegiatan supervisi Quality Assurance dan Audit Maternal Perinatal di tingkat kabupaten/kota.5
v  Penyediaan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir oleh masyarakat dan swasta
Posyandu yang dikelola oleh kader kesehatan memberi pelayanan antenatal dengan bantuan bidan di desa. Di tingkat masyarakat dukun bayi masih berperan dalam memberikan pelayanan kehamilan, persalinan, dan nifas.5
Fasilitas bidan praktik swasta terdapat di berbagai desa dan kota yang juga memberikan pertolongan persalinan di rumah pasien. Sementara itu, rumah bersalin dan rumah sakit bersalin swasta menyediakan pelayanan ibu dan bayi baru lahir dasar ataupun pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal.5
v  Kesenjengan dalam penyediaan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir
Berdasarkan kebijakan nasional, setiap desa harus memiliki polindes, setiap kecamatan memiliki puskemas, dan setiap kabupaten/kota memiliki rumah sakit. Dalam kenyataan hanya sekitar 50% desa yang memiliki polindes, sedangkan jumlah puskesmas dan rumah sakit sudah memadai. Meskipun demikian, kualitas pelayanan ibu dan bayi baru lahir disemua fasilitas kesehatan tersebut masih rendah.
Kelengkapan peralatan, bahan, atau obat-obatan untuk pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir belum memenuhi standar kebutuhan. Banyak rumah sakit kabupaten/kota yang belum memiliki fasilitas penyimpanan darah ataupun deteksi terhadap HIV dan Hepatitis B.
Di semua tingkat pelayanan kesehatan terdapat kekurangan sumber daya manusia. Sekitar 30% rumah sakit kabupaten/kota tidak memiliki dokter spesialis obstetri dan ginekologi maupun dokter spesialis lainnya. Sementara itu, pada seluruh sistem kesehatan terdapat kekurangan dokter umum, bidan, dan bidan di desa telah memeperoleh pelatihan, kompetensi dan keterampilan mereka dalam pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir dasar, terutama manajemen aktif kala III dan pelayanan kegawatdaruratan obstetri, masih kurang memadai.
Ketersediaan dan kualitas data dari sistem informasi kesehatan ibu dan bayi baru lahir yang ada kurang memberikan informasi yang dapat digunakan sebagai dasar bagi perencanaan dan manajemen program.4,5
v  Kesenjangan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir
Secara umum, pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir yang tidak merata sangat erat hubungannya dengan kemiskinan, pendidikan wanita, faktor geografis, dan pembangunan sosial. Kaum ibu yang miskin dan tidak berpendidikan mengalami kesulitan khusus dalam memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan karena keterbatasan biaya dan ketidaktahuan.5
Persentase ibu hamil yang mendapat pelayanan antenatal sekurang-kurangnya 1 kali cukup tinggi (92%), tetapi persentase yang mengunjungi klinik antenatal 4 kali sesuai dengan standar lebih rendah (81%). Persentase ibu hamil yang mendapat 2 dosis tetanus toksoid dan dosis penuh 90 tablet besi cukup tinggi (78%). Meskipun demikian, ternyata hanya sekitar 65% dari semua persalinan ditolong tenaga kesehatan terampil, masih jauh dibawah target nasional. Secara nasional kunjungan ibu nifas dilaporkan sebesar 74% yang kebanyakan dilayani oleh bidan di desa.5
Pemanfaatan sistem rujukan masih kurang antara lain karena rendahnya pengetahuan ibu hamil dan keluarganya tentang tanda-tanda bahaya pada kehamilan, persalinan, dan nifas. Selain itu, masyarakat juga kurang berhasil membantu kaum ibu untuk memanfaatkan sistem rujukan, seperti membantu dalam penyediaan dana untuk biaya pelayanan, pemanfaatan teknologi komunikasi di pelbagai tingkat sistem pelayanan, serta pengaturan sistem pengaturan transportasi yang berfungsi dengan baik.5
v  Kesenjangan dalam pembiayaan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir
Pelayanan di fasilitas kesehatan diberikan dengan cara pembayaran tunai, kecuali pelayanan bagi keluarga miskin di fasilitas pemerintah. Saat ini sedang dikembangkan sistem pembiayaan pelayanan kesehatan melalui Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Selain itu, terdapat pula program pembiayaan keehatan seperti Askes, Jamsostek, Dana Sehat, dan Tabulin. Tabulin adalah upaya pembiayaan khusus bagi perempuan untuk pelayanan selama kehamilan, persalinan, dan nifas.5
Pelayanan komplikasi tepat waktu dan adekuat sangat kritis untuk kelangsungan hidup ibu dan bayi baru lahir. Namun, pertolongan demikian mahal biayanya. Kekurangan dana merupakan masalah utama penolakan untuk di rujuk ke rumah sakit, terkecuali rujukan yang didanai Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK).5
Mekanisme pembiayaan untuk mendanai program kesehatan kabupaten/kota saat ini adalah melalui PAD, DAU, dan DAK. Saat ini sulit bagi kabupaten/kota untuk mencari keseimbangan antara biaya pelayanan yang berkualitas dan ketersediaan dana. Hal ini akan mempengaruhi pemanfaatan pelayanan, terutama kasus komplikasi kehamilan dan persalinan bagi ibu-ibu yang tidak mampu.5
v  Kesenjangan dalam komitmen politik dan kebijakan terhadap kesehatan ibu dan bayi baru lahir
Komitmen politik jangka panjang pada tingkat nasional merupakan titik tolak yang penting dari negara-negara yang telah berhasil menurunkan kematian ibu. Kemajuan yang diperoleh membutuhkan perjuangan yang sungguh-sungguh dari pengambil keputusan dan politisi untuk memberikan perhatian pada besarnya permasalahan serta dimensi hak asasi manusia sambil mempromosikanintervensi yang bermanfaat dan menentukan cara-cara pengukuran dampaknya.
Pemerintah Indonesia telah merumuskan beberapa kebijakan yang mendukung peningkatan kesehatan serta kelangsungan hidup ibu dan bayi baru lahir. Selain itu, terdapat beberapa kebijakan tentang pelaksanaan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir.
Kebijakan tentang kesehatan ibu dan bayi baru lahir secara khusus berhubungan dengan pelayanan antenatal, persalinan, dan nifas, perawatan bayi baru lahir, dan kegawatdaruratan. Kebijakan pelayanan antenatal menyatakan bahwa pelayanan antenatal harus diberikan disemua jenis fasilitas kesehatan di posyandu sampai rumah sakit pemerintah dan di fasilitas kesehatan masyarakat. Kebijakan ini menyatakan bahwa pelayanan antenatal harus diberikan sesuai dengan standar nasional, sekurang-kurangnya 4 kali selama kehamilan, yaitu satu kali dalam trimester I, satu kali dalam trimester II, dan 2 kali dalam trimester III.
Kebijakan tentang persalinan menyatakan bahwa semua persalinan harus di tolong oleh petugas kesehatan yang terampil. Melalui Permenkes 572/1996, bidan di desa telah di beri wewenang untuk menangani komplikasi kehamilan dan persalinan tertentu. Kebijakan tentang kunjungan bayi baru lahir belum selaras dengan kunjungan ibu pada masa nifas.
Kebijakan tentang KB di fokuskan pada kehamilan 4 terlalu (terlalu muda/sering/banyak/tua) yang merupakan kelompok the unmet needs dalam masyarakat.
Walaupun menurut hukum perempuan berhak memperoleh pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir, di pelbagai daerah pelayanan yang aman tidak tersedia secara adekuat. Hal ini terjadi karena pelbagai alasan antara lain: kurangnya petugas kesehatan terlatih dan memiliki motivasi, metode yang tidak tepat, kurangnya pemberian wewenang pada petugas dan fasilitas kesehatan untuk melaksanakan pelayanan tertentu, kurangnya pengetahuan petugas tentang peraturan perundang-undangan itu sendiri, persyarata peraturan yang kompleks, atau kurangnya sumber daya.
Kebijakan yang luas dan faktor sosial seperti persyaratan hukum dan prosedur lain, kurangnya informasi pemerintah tentang undang-undang hak asasi perempuan, serta stigma sosial juga harus dipertimbangkan jika akan menyediakan pelayanan aman dan sah menurut hukum serta dapat diakses. Pedelegasian wewenang yang tepat perlu dikembangkan sehingga fungsi-fungsi tertentu dapat didelegasikan kepada petugas yang terampil di tingkat pelayanan yang lebih rendah.5
v  Kesenjangan dalam kerja sama dan koordinasi antara pemerintah dan mitra kerja
a.       Departemen lain
Departemen-departemen atau badan yang mempunyai peran utama dalam mendukung pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir adala Meneg Pemberdayaan Perempuan, BKKBN, Departemen pendidikan nasional, Departemen Agama, dan Bappenas.
Meneg PP mendukung keberhasilan upaya penurunan angka kematian ibu dan bayi baru lahir melalui Gerakan Sayang Ibu (GSI). Selanjutnya, gerakan ini memfokuskan diri pada pengembangan kecamatan saying ibu dan rumah sakit sayang ibu. Gerakan saying ibu saat ini hanya terdapat beberapa kecamatan di Indonesia. Departemen Pendidikan Nasional telah memulai pendidikan kepada gadis remaja mengenai masalah kesehatan reproduksi dan pencegahan anemia.
Depdiknas pada saat ini sedang merevisi kurikulum Sekolah Menengah Umum dan Sekolah Menengah Pertama untuk mengakomodasi isu-isu kesehatan reproduksi. Peran BKKBN lam upaya penurunan angka kematian ibu dan bayi baru lahir difokuskan pada upaya penurunan angka fertilitas.
Departemen dan badan tersebut diatas tidak jarang mempunyai kepentingan yang sama dibeberapa bidang yang kadang-kadang sulit untuk dikoordinasikan dilapangan sehingga terjadi tumpang tindih yang tidak dapat dihindari.
b.      Sektor swasta, LSM, dan organisasi profesi
Sektor swasta dan LSM berperan dalam penyediaan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir. Berdasarkan kebijakan nasional semua fasilitas kesehatan swasta harus memperhatikan standar pelayanan. Akan tetapi, sampai saat ini ternyata tidak ada pengawasan efektif dari dinas kesehatan setempat.
Organisasi profesi seperti POGI, IDAI, Perinasia, dan IBI bekerja sama dalam berbagai kegiatan meningkatkan kesehatn ibu dan bayi baru lahir. POGI telah memainkan peran utamanya dalam pengembangan standar nasional dan pedoman pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir serta pelatihan berbasis kompetensi bagi tenaga kesehatan, IBI berkontribusi dalam pelatihan bidan.
c.       Lembaga donor
Lembaga donor member bantuan kepada departemen kesehatan melalui berbagai proyek. Bantuan yang diberikan meliputi bantuan teknis, financial dan materi, bergantung pada tujuan lembaga-lembaga tersebut serta keuntungan komparatif. Tantangan yang berhubungan dengan bantuan luar negeri meliputi koordinasi antara pihak pemerintah dan lembaga donor. Upaya ini seringkali mengakibatkan kegiatan yang terkotak-kotak dan kegiatan yang tumpang tindih, penggunaan sumber daya yang tidak efektif dan kesulitan dalam memanfaatkan hasil kajian kegiatan untuk perbaikan program dan perluasan intervensi.5

2.2 Safe Motherhood
2.2.1 Definisi Safe Motherhood
Berbagai upaya terus di­usahakan dalam rangka menurunkan angka ke­ma­tian ibu. Salah satu­nya adalah mengimplementasikan program Sa­fe Motherhood. Safe Motherhood adalah usaha-usaha yang dilakukan agar seluruh perempuan menerima perawatan yang me­reka butuhkan selama hamil dan bersalin. Program itu terdiri dari empat pilar yaitu:
ü  Ke­luarga berencana,
ü  Pelayanan antenatal,
ü  Per­salinan yang aman, dan
ü  Pelayanan obs­te­tri esensial.
Menurut the International Classification of Diseases and Related Health Problems, Tenth Revision, 1992 (ICD-10) WHO mendefinisikan kematian ibu sebagai “kematian wanita hamil atau dalam 42 hari setelah persalinan, tanpa memandang lama dan tempat terjadinya kehamilan yang disebabkan oleh atau dipicu oleh kehamilannya atau penanganan kehamilannya, tetapi bukan karena kecelakaan”. Menurut pengertian ini penyebab kematian ibu dapat dibagi menjadi penyebab langsung maupun tak langsung.2
Penyebab  kematian langsung yaitu setiap komplikasi persalinan disetiap fase kehamilan (kehamilan, persalinan dan pasca persalinan), akibat tindakan, kesalahan pengobatan atau dari kesalahan yang terjadi disetiap rangkaian kejadian diatas. Contohnya seperti perdarahan, pre-eklamsia/eklamsia, akibat komplikasi anestesi atau bedah kaisar, perdarahan, sepsis, kelahiran prematur akibat hipertensi, lahir mati, dan komplikasi akibat aborsi yang tidak aman menjadi penyebab langsung yang berkontribusi pada 80% kematian.
Penyebab kematian tak langsung yaitu akibat penyakit lain yang telah ada sebelumnya atau berkembang selama kehamilan dan yang tidak berhubungan dengan penyebab langsung tetapi dipicu secara fisiologis oleh kehamilan. Contohnya seperti kematian akibat penyakit ginjal atau jantung.2,5

2.2.2 Pelajaran dari Upaya safe Motherhood
Walaupun berbagai upaya telah dilaksanakan, angka kematian ibu di berbagai Negara berkembang masih tetap tinggi atau penurunannya sangat lambat. Safe Motherhood Technical Consultation yang diadakan di Colombo, 1997, mengidentifikasi beberapa isu kunci sebagai berikut.1
·         Kurang jelasnya prioritas serta intervensi program safe motherhood yang kurang terarah dan kurang efektif.
·         Kurangnya informasi tentang intervensi yang mempunyai dampak bermakna dan segera dalam menurunkan kematian ibu.
·         Strategi safe motherhood kadang-kadang terlalu luas, mulai dari meningkatkan status perempuan, memperbaiki undang-undang, memperluas pelayanan kesehatan maternal, dan memperluas pelayanan emergensi.
·         Beberapa program yang khusus dalam pelayanan kesehatan maternal ternyata dikemudian hari tidak atau kurang efektif, seperti penapisan risiko pada asuhan antenatal dan pelatihan dukun.
·         Tidak dilakukannya  intervensi yang sebenarnya efektif seperti penanganan komplikasi aborsi karena masih dianggap sebagai isu yang sensitif.
·         Tidak tersedianya panduan teknis atau program, kurikulum pelatihan dan sumber lain secara luas.
·         Kurangnya komitmen politik dari penentu kebijakan.
·         Kurangnya koordinasi dan komitmen diantara pemerintah dan lembaga donor.
2.2.3 Penyebab Kematian dan kesakitan Ibu dan Bayi serta Upaya Intervensi
Penyebab kematian dan kesakitan ibu dan bayi telah dikenal sejak dahulu dan tidak berubah banyak. Penyebab kematian ibu adalah perdarahan postpartum, eklampsia, infeksi, aborsi tidak aman, partus macet, dan sebab-sebab lain seperti kehamilan ektopik dan mola hidatidosa. Keadaan diatas diperkuat dengan kurang gizi, malaria dan penyakit-penyakit lain seperti tuberculosis, penyakit jantung, hepatitis, asma, atau HIV. Pada kehamilan remaja lebih sering terjadi komplikasi seperti anemia dan persalinan preterm. Sementara itu, terdapat berbagai barier yang mengurangi akses memperoleh pelayanan kesehatan maternal bagi remaja, kemiskinan, kebodohan, kesenjangan hak asasi pada remaja permpuan, kawin pada usia muda, dan kehamilan yang tidak diinginkan.4
Kematian pada bayi baru lahir disebabkan oleh tidak adekuatnya dan tidak tepatnya asuhan pada kehamilan dan persalinan, khususnya pada saat-saat kritis persalinan. Penyebab utama kematian bayi baru lahir adalah infeksi (tetanus, sepsis, meningitis, pneumonia, sifilis congenital), asfiksia, dan trauma sewaktu persalinan, prematuritas dan/atau berat badan lahir rendah, dan kelainan bawaan. Konsumsi alcohol dan merokok merupakan penyebab kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru lahir yang seharusnya dapat dicegah. Ibu perokok berhubungan dengan komplikasi seperti perdarahan, ketuban pecah dini, dan persalinan preterm. Juga dapat berakibat pertumbuhan janin terhambat, berat badan lahir rendah, serta kematian janin. Konsumsi alcohol selama kehamilan berhubungan dengan abortus, lahir mati, prematuritas, dan kelainan bawaan (fetal alcohol syndrome).4
Intervensi seyogyanya dapat dilakuakn oleh tenaga kesehatan terlatih, dengan teknologi sederhana, dan sumber daya terbatas. Perdarah postpartum dicegah dengan mengobati anemia dalam kehamilan, penanganan aktif kala III dan pemberian obat-obat seperti misoprostol. Infeksi dicegah dan mempraktikan kewaspadaan standar (persalinan bersih dan aman), aborsi tidak aman dicegah dengan asuhan pascakeguguran, eklampsia diatasi dengan MgSO4 dan terminasi kehamilan, persalinan macet dengan PONEK. Penyebab kematian neonatal seperti infeksi dapat dicegah dengan imunisasi tetanus toxoid, kewaspadaan standar, ASI ekslusif; asfiksia dan trauma persalinan dicegah dengan PONED; dan persalinan premature/BBLR dengan deteksi dini dan penanganan komplikasi. Bayi lahir mati dapat diintervensi dengan penanganan efektif komplikasi obstetric dan asuhan antenatal yang baik.4
      Penanganan efektif komplikasi obstetric bukan saja dapat mencegah kematian ibu tetapu juga dapat mencegah morbiditas. Misalnya rujukan yang tepat pada partus macet dapat mencegah fistula vesiko atau rektovaginal. Contoh lain intervensi gizi, menghentikan merokok atau konsumsi alcohol, vaksinasi rubella sebelum kehamilan pertama, mengurangi beban fisik pada trimester ketiga kehamilan dapat mengurangi kesakitan ibu.4

2.2.4 Peran Sektor Kesehatan pada Upaya Safe Motherhood
Peran sektor kesehatan dalam upaya menurunkan kematian dan kesakitan ibu dan bayi baru lahir dalam menjamin tersedianya pelayanan obstetric neonatal esensial yang bermutu baik. Tersedianya tenaga kesehatan yang terlatih pada persalinan sangat penting untuk deteksi dinidan penanganan tepat cepat komplikasi yang dapat terjadi. Komplikasi pada persalinan kadang-kadang terjadi tanpa dapat diketahui atau diperkirakan sebelumnya. Dengan demikian, peran sektor kesehatan pada upaya penurunan mortalitas dan morbiditas ibu dan bayi baru lahir meliputi hal-hal sebagai berikut.2
·         KIE dan pelayanan Keluarga Berencana yang berfokus pada klien, termasuk pria dan remaja.
·         Konseling kontrasepsi dan asuhan pascakeguguran.
·         Asuhan ante dan postnatal yang lebih difokuskan pada Birth Preparedness dan Complication readiness. Asuhan postnatal mencakupi pula dukungan dan konseling pemberian ASI, pencegahan/deteksi dini komplikasi, dan konseling kontrasepsi.
·         Tersedianya tenaga kesehatan yang terlatihpada setiap persalinan bersih dan aman, dan menangani komplikasi jika diperlukaan.
·         Pelayanan yang adekuat difasilitas rujukan, termasuk sedianya fasilitas transfuse darah dan tindakan sectio sesarea.
·         Tersedianya akses dari semua perempuan hamil terhadap fasilitas kesehatan tersebut, termasuk transportasi, factor-faktor sosio budaya, dan kemampuan si ibu untuk mengambil keputusan, factor biaya, perilaku terhadap pelayanan kesehatan dan lain-lain.
Ada dua alasan yang menyebabkan Safe Motherhood perlu mendapat perhatian. Pertama, besarnya masalah kesehatan ibu dan bayi baru lahir serta dampak yang diakibatkannya. Data menunjukkan bahwa seperempat dari wanita usia reproduktif di negara berkembang mengalami kesakitan yang berhubungan dengan kehamilan, persalinan, dan nifas. Dampak sosial dan ekonomi kejadian ini sangat besar, baik bagi keluarga, masyarakat, maupun angkatan kerja di suatu negara. Keberadaan seorang ibu merupakan tonggak utama untuk tercapainya keluarga yang sejahtera dan kematian seorang ibu merupakan suatu bencana bagi keluarganya. Kedua, Safe Motherhood pada hakikatnya merupakan intervensi yang efisien dan efektif dalam menurunkan angka kematian ibu.2
2.2.5 Peran laki-laki dalam program safe motherhood (keselamatan ibu)
Laki-laki sebagai suami ikut berperan dalam kehidupan dan kesehatan istrinya dan juga dalam kesehatan anak-anak mereka. WHO memperkirakan 585.000 perempuan meninggal setiap hari akibat komplikasi kehamilan, proses kelahiran, dan aborsi yang tidak aman – sekitar satu perempuan meninggal setiap menit. Hampir semua kasus kematian ini sebenarnya dapat dicegah.2
Pada beberapa negara terutama di negara berkembang, kehamilan dengan komplikasi merupakan penyebab kematian yang utama pada perempuan usia reproduksi. Ribuan perempuan menderita penyakit dan ketidakmampuan yang serius, termasuk nyeri panggul kronis, penyakit radang panggul, incontinence, dan kemandulan yang disebabkan oleh kehamilan atau akibat komplikasinya. Kematian ibu menurut WHO adalah kematian yang terjadi saat hamil, bersalin, atau dalam 42 hari pasca persalinan dengan penyebab yang berhubungan langsung atau tudak langsung terhadap kehamilan. Perdarahan, sepsis, kelahiran prematur akibat hipertensi, lahir mati, dan komplikasi akibat aborsi yang tidak aman menjadi penyebab langsung yang berkontribusi pada 80% kematian . Keselamatan ibu berisi jaminan kesehatan yang baik bagi perempuan sebagai ibu dan dan bayinya selama hamil, persalinan dan masa setelah persalinan. Suami memainkan banyak peran kunci selama masa kehamilan dan persalinan istri serta setelah bayi lahir. Keputusan dan tindakan mereka berpengaruh terhadap kesakitan dan kesehatan, kehidupan dan kematian ibu dan bayinya.1,2
Langkah awal yang dapat dilakukan oleh laki-laki dalam mempromosikan keselamatan ibu adalah merencanakan keluarganya. Pembatasan kelahiran dan membuat jarak kelahiran paling sedikit 2 tahun, baik untuk menjaga kesehatan ibu dan anak, mengingat setiap kehamilan membawa risiko kesehatan yang potensial untuk ibu, walaupun ibu tersebut terlihat sehat dan berrisiko rendah. Kehamilan yang tidak direncanakan seringkali menjadi berisiko karena akan membawa mereka untuk melakukan aborsi. Komplikasi aborsi yang tidak aman menyebabkan 50.000 hingga 100.000 kematian setiap tahun.2,5
·         Mendukung Penggunaan Kontrasepsi.
Suami sebaiknya ikut menemani istrinya menemui konselor keluarga berencana atau petugas kesehatan. sehingga mereka bisa bersama-sama mengetahui metode kontrasepsi yang tersedia dan memilih salah satu metode yang tepat. Seorang suami juga dapat mendukung pasangannya dalam menggunakan metode modern secara benar (seperti, membantu istrinya mengingatkan kapan harus meminum pil KB setiap harinya), suami juga dapat menggunakan metode kontrasepsi untuk dirinya sendiri, atau mendukung istri untuk mempraktekkan metode pantang berkala. Suami seharusnya memotivasi istrinya untuk meminta pertolongan kepada petugas kesehatan bila merasakan efek samping akibat pemakaian alat kontrasepsi.
        Ketika istrinya hamil, suami dapat mendukung istri agar mendapatkan pelayanan antenatal yang baik, menyediakan transportasi atau dana untuk biaya konsultasi. Suami seharusnya menemani istrinya konsultasi, sehingga suami juga dapat belajar mengenai gejala dan tanda-tanda komplikasi kehamilan. Gizi yang baik serta istirahat cukup penting bagi ibu selama masa kehamilan. Suami ikut berperan agar istrinya dapat melahirkan bayi yang sehat dengan menjamin istrinya mendapatkan makanan yang bergizi, terutama makanan yang banyak mengandung zat besi dan vitamin A. Anemia, walaupun bukan merupakan penyebab langsung kematian ibu, namun merupakan faktor penyebab kematian. Ibu yang anemi berisiko lima kali lebih besar untuk meninggal dibandingkan dengan ibu yang tidak anemi.23 Vitamin A penting untuk kesehatan ibu dan janin. Seorang ibu membutuhkan vitamin A yang cukup untuk menunjang per-kembangan kesehatan bayi dan untuk kesehatannya sendiri, khususnya untuk kesehatan mata dan sistem kekebalan tubuh. Rabun malam pada ibu hamil adalah gejala kekurangan vitamin A. Suplemen pil vitamin A dalam masa kehamilan, dapat menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Sebuah studi tentang kesehatan ibu di bagian selatan Nepal menemukan bahwa vitamin A dosis rendah atau beta-carotene tambahan dan bahan pangan yang banyak mengandung vitamin A dapat menurunkan persentase kematian ibu rata-rata 44%.
·         Mempersiapkan perawatan yang terlatih selama persalinan.
        Pada negara-negara berkembang, kebanyakan ibu-ibu yang akan melahirkan tidak dibantu oleh tenaga yang terlatih, melainkan ditolong oleh dukun beranak atau anggota keluarga. Kehadiran tenaga terlatih selama proses kelahiran dapat membuat suatu perbedaan antara kehidupan dan kematian. Suami berperan dalam mempersiapkan tenaga terlatih agar hadir pada saat persalinan dan membiayai pelayanan yang diberikan. Suami juga harus mempersiapkan transportasi serta mencukupi perlengkapan yang dibutuhkan.
        Keterlambatan sering kali berkontribusi terhadap kematian ibu ketika terjadi komplikasi kehamilan. Tiga jenis keterlambatan yang berisiko terhadap kesehatan ibu, yaitu terlambat untuk mencari pertolongan, terlambat mendapatkan pelayanan pada fasilitas kesehatan, dan terlambat mendapatkan pertolongan yang memadai pada fasilitas kesehatan. Suami dan anggota keluarga lainnya memegang peranan yang penting dalam mendapatkan pelayanan sesegera mungkin. Suami biasanya menjadi pemegang keputusan ketika kondisi istri dalam keadaan membutuhkan pertolongan kesehatan segera. Suami juga yang memutuskan transportasi apa yang akan digunakan untuk mencapai tempat pelayanan kesehatan. Suami dapat menghindari keterlambatan tersebut dengan cara mengenali gejala-gejala persalinan imminen dan persalinan dengan komplikasi.
        Kebanyakan kematian ibu yang terjadi antara tiga hari setelah persalinan, disebabkan karena adanya infeksi atau perdarahan. Hasil penelitian terbaru  menemukan kematian ibu dapat dicegah bila suami dapat mengenal komplikasi-komplikasi potensial setelah persalinan dan selalu siaga untuk mencari pertolongan jika hal tersebut terjadi. Suami juga berperan agar istrinya mendapatkan makanan yang bergizi. Pada masa menyusui, seorang ibu membutuhkan vitamin A tambahan untuk menjaga agar vitamin-vitamin yang diperlukan dapat diterima dengan baik oleh bayinya. Selama periode pasca persalinan, suami dapat membantu pekerjaan rumah tangga yang berat seperti mengumpulkan kayu dan air serta menjaga anak-anak.  Mereka juga dapat mendorong istri untuk memberikan ASI agar dapat menolong kontraksi uterus. Pada akhirnya, suami harus mulai memikirkan metode kontrasepsi, baik berupa metode sementara untuk memberikan jarak terhadap kelahiran yang berikutnya atau bila mungkin vasektomi jika tidak mengi-nginkan anak lagi.
·         Menjadi Ayah yang bertanggung jawab
        Sebagai sorang ayah, laki-laki menentukan tingkat kesehatan anak-anaknya. Seorang ayah dapat lebih terlibat dalam perkembangan kesehatan anak-anaknya, sebagai contoh, memastikan bahwa anak-anak mereka menerima semua kebutuhan imunisasinya. Sebuah studi di Ghana, menemukan bahwa semakin banyak pengetahuan seorang ayah, semakin besar peran mereka dalam memutuskan untuk mengimunisasikan anak-anaknya.
        Di Amerika Serikat, Baltimore’s Urban Fatherhood Program mendorong laki-laki muda agar lebih bertanggung jawab sebagai ayah dengan mempromosikan peran laki-laki yang positif. Anggota program tersebut dimana banyak diantara mereka adalah remaja yang telah menjadi seorang ayah, mendorong rekan-rekannya untuk menjadi seorang ayah yang baik melalui kelompok-kelompok dukungan, konseling, dan kelas yang menyajikan materi kete-rampilan hidup. Mereka juga mengajarkan tentang fertilitas, reproduksi, siklus menstruasi, kehamilan, gizi bayi serta perawatannya. Di Newark, New Jersey, program serupa juga mengajarkan ayah-ayah muda mengenai kontrasepsi termasuk menggunakan kondom dengan benar.
        Ayah, sebagai panutan, dapat membantu kehidupan sosiali anak-anaknya. Secara khusus, seorang ayah dapat mengajarkan anak laki-lakinya agar menghormati perempuan dan memperlakukan mereka sebagai manusia yang setara, mendukung anak perempuannya untuk bersekolah dan berperan aktif dalam keluarga. Dengan begitu, seorang ayah ikut mewujudkan status perempuan yang setara dan menjadikan masa depan anak perempuannya lebih baik.2,4,5

2.3 Pelayanan obstetri esensial
Pelayanan obstetri esensial/ Essential Obstetric Care (EOC) atau Pelayanan obstetri esensial komprehensif/ Comprehensive essential obstetric care (CEOC) tidak hanya menyediakan sarana untuk mengelola komplikasi darurat, tetapi juga mencakup prosedur untuk deteksi dini dan pengobatan untuk mencegah terjadinya masalah dalam kehamilan seperti anemia, preeklampsia, dan persalinan lama, termasuk dalam hal bedah, anestesi, dan transfusi darah.3
EOC terdiri atas perawatan terhadap kedaruratan obstetri (kegawatdaruratan kebidanan) atau disebut dengan Emergency Obstetric Care (EmOC). Pelayanan ini menangani komplikasi yang tak terduga dalam persalinan seperti perdarahan. Selain itu, EOC terdiri atas pelayanan obstetrik dasar esensial/ Basic Essential Obstetric Care (BEOC). Pelayanan ini meliputi semua elemen EOC kecuali penanganan yang memerlukan operasi, anestesi dan transfusi darah. Layanan ini meliputi unsur-unsur pencegahan yang dapat disediakan pada tingkat rujukan pertama (Puskesmas, rumah bersalin, atau rumah sakit dasar) melalui penyedia non-dokter, misalnya bidan. Pelayanan ini tidak menuntut tenaga spesialis ataupun ruang operasi dan fasilitas yang lengkap, karena itu memiliki potensi untuk berada di sekitar lingkungan tempat tinggal dan memberikan pelayanan yang lebih dekat terhadap ibu hamil.3
EOC harus memberikan pelayanan yang lebih untuk ibu hamil dan melahirkan beserta bayi yang baru lahir. EOC juga harus mencegah perkembangan komplikasi yang lebih serius. Hal ini tentunya membutuhkan pelatihan baik spesialis maupun penyedia lini depan untuk membentuk sebuah tim dalam memberikan semua tingkat perawatan dan juga mencakup sistem rujukan yang efektif. Dalam konteks sistem rujukan, staf medis terlatih (perawat,
bidan atau dokter umum) yang terletak di puskesmas atau rumah sakit umum harus mampu memberikan perawatan penting dasar yang berkualitas sehingga dapat mengurangi jumlah rujukan dan mengurangi kematian ibu.3
Sistem kesehatan yang tidak sesuai disertai dengan peningkatan angka kematian ibu merupakan suatu indikasi untuk mengevaluasi EOC dasar sebelum memulai
EOC yang komprehensif. Hal ini juga dapat menjadi sarana pendekatan yang efektif untuk pengaturan biaya serta menurunkan angka kematian ibu yang masih tinggi di sejumlah tempat. Pemberian pelayanan ini tentu saja berkaitan dengan infrastruktur yang tersedia, keterampilan sumber daya, dan pola melahirkan yang ada. Jika mayoritas wanita biasa melahirkan di rumah dengan pihak pembantu persalinan yang tidak terampil secara medis maka upaya pelayanan perlu dipindahkan lebih dekat kepada mereka; karenanya EOC dasar lebih ditekankan. Jika mayoritas melahirkan di rumah sakit, maka keterampilan sumber daya pelayanan di tingkat primer juga harus ditingkatkan. Apabila pelayanan dasar sudah cukup baik, pelayanan dapat lebih ditingkatkan dengan penyediaan penanganan terhadap kegawatdaruratan kebidanan.3
Pemberian pelayanan ini didasarkan akibat pelaksanaan pelayanan obstetrik tampak masih sulit dilakukan karena kurangnya persediaan, peralatan, dan sumber daya yang penting untuk memberikan perawatan dan menyelamatkan nyawa seorang ibu yang dalam keadaan darurat kebidanan. Unit pelayanan persalinan yang komprehensif bertujuan untuk memberikan semua komponen perawatan obstetrik darurat dalam batas standar.6
Sekitar 15% dari semua wanita hamil mengalami komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa yang membutuhkan perawatan terampil dan beberapa akan memerlukan intervensi obstetrik yang khusus. Sekitar 1 dari 1.000 perempuan meninggal karena komplikasi pada masa kehamilan atau melahirkan. Hal ini terjadi terutama pada negara-negara dengan sumber daya yang rendah. Meningkatkan kesehatan ibu adalah salah satu dari delapan Millennium Development Goals (MDGs) yang diadopsi oleh organisasi internasional pada tahun 2000. Komponen kelima dari MDGs adalah untuk menurunkan 75% angka kematian ibu. Darurat kebidanan (kegawatdaruratan kebidanan), program keluarga berencana, dan pertolongan persalinan yang terampil adalah tiga intervensi utama yang telah dilaksanakan secara global untuk mengurangi angka kematian ibu..6
Dalam kasus kematian maternal, terdapat tiga hal keterlambatan yang penting dikaitkan:
1. Keterlambatan dalam mencari pelayanan kesehatan
2. Terlambat mencapai fasilitas kesehatan.
3. Keterlambatan dalam memperoleh perawatan yang tepat setelah mencapai fasilitas kesehatan.6
Dua penundaan pertama adalah masalah akses, yang tergantung pada pasien, keluarganya, masyarakat, dan transportasi yang aman dan dapat diandalkan. Penundaan ketiga berkaitan dengan faktor-faktor di fasilitas kesehatan,misalnya3:
·      Keterlambatan diagnosis.
·      Protokol klinis yang tidak sesuai.
·      Staf kurang terlatih.
·      Kegagalan untuk mempekerjakan staf medis dan bedah yang cukup.
·      Kurangnya obat esensial, peralatan, dan perlengkapan.
Program intervensi harus mengatasi masalah-masalah terssebut serta memiliki program yang berkelanjutan dan keberhasilan yang terukur. Karena hal demikian, PBB telah menentukan pengembangan layanan kegawatdaruratan kebidanan sebagai prioritas dan berpusat untuk mengatasi ketiga keterlambatan utama yang menjadi penyebab masalah pada kematian maternal. Standar dan pedoman untuk kegawatdaruratan kebidanan telah ada selama beberapa dekade dan menjadi landasan dalam pelaksanaan dasar kegawatdaruratan kebidanan (PoNeD) dan PONEK (PoNeK). WHO merekomendasikan panduan berikut untuk tingkat minimum layanan kegawatdaruratan kebidanan7:
·      Harus ada setidaknya empat fasilitas PoNeD dan satu fasilitas PoNeK per 500.000 penduduk.
·      Tingkat fasilitas minimum juga harus dipenuhi di daerah subnasional.
·      Setidaknya 15% dari semua kelahiran dalam populasi harus dilakukan di fasilitas kegawatdaruratan kebidanan.
·      100% dari perempuan yang memiliki komplikasi kebidanan harus dirawat di fasilitas kegawatdaruratan kebidanan.
·      Angka kematian maternal di fasilitas kegawatdaruratan kebidanan harus kurang dari 1%.
Standar dan pedoman untuk kegawatdaruratan kebidanan sampai saat ini masih sangat sulit untuk diterapkan. Sejak tahun 1997, jarang sekali negara yang memenuhi kriteria tersebut. Namun yang terpenting adalah kemudahan bagi perempuan untuk memiliki akses ke fasilitas PoNeD di mana mereka dapat menerima perawatan untuk beberapa keadaan darurat dan pertolongan pertama dalam hal kebidanan sampai mereka dapat mencapai fasilitas rujukan yang memadai dan aman. Banyak unit telah digambarkan sebagai unit kebidanan tetapi memiliki kekurangan mengerikan persediaan, peralatan, dan staf. Bahkan ketika angka fasilitas telah memadai, penentuan lokasi dan jumlah sumber daya sering kali masih menjadi masalah.7
Untuk memenuhi target pelayanan obstetri yang ada, fasilitas pelayanan harus memiliki berikut8:
  • Air.
  • Listrik.
  • Sebuah lingkungan yang steril (udara bersih, seprai bersih)
  • Peralatan untuk memberikan anestesi yang aman (monitor, oksigen, suction, ventilator, obat-obatan, perlengkapan intravena).
  • Instrumen bedah yang tepat (kauter, gaun, sarung tangan, benang, jarum).
  • Peralatan resusitasi neonatal.
  • Kemampuan laboratorium dasar.
  • Kapasitas untuk memberikan transfusi darah bila diperlukan.
Pengaturan penyediaan bahan habis pakai dan obat-obatan diperlukan untuk keberhasilan pengimplementasian layanan. Advokasi di tingkat pemerintah juga diperlukan untuk memastikan bahwa kementerian kesehatan setempat turut bertanggung jawab untuk kelanjutan fasilitas yang ada. Rumah sakit yang berada di negara-negara berpenghasilan tinggi telah mempertimbangkan bahwa layanan perbaikan teknologi sama pentingnya dengan keberadaan ahli bedah. Namun donor seringkali mengirimkan teknologi yang bersifat kompleks untuk rumah sakit yang masih kekurangan sumber daya sehingga alat-alat tersebut tidak dapat digunakan.  Untuk itu diperlukan cara untuk melepaskan diri dari siklus yang cukup boros ini, antara lain9:
  1. Standarisasi perawatan melalui perangkat yang efektif, handal, dan mudah diperbaiki dan diganti.
  2. Memperkuat kapasitas pelayanan kesehatan setempat dengan menambahkan infrastruktur dan ruang perawatan fisik.
  3. Memperluas pelatihan teknisi biomedis.
  4. Menyampaikan modul pelatihan standar untuk implementasi teknologi tepat guna.
  5. Memberikan peralatan komunikasi untuk mengakses dukungan keputusan dan layanan dukungan teknis.
Parameter kesehatan juga harus dievaluasi untuk pengembangan pelayanan obstetri di setiap wilayah. Parameter tersebut antaralain9:
·         Angka kematian ibu (AKI).
·         Jumlah rujukan dari fasilitas kesehatan.
·         Jumlah bedah sesar dan persalinan yang dibantu.
·         Perdarahan pada saat persalinan
·         Usia ibu.
·         Prevalensi komplikasi kebidanan.
·         Perkiraan usia kehamilan pada saat persalinan.
·         Angka kematian janin.
·         Berat janin.
·         Skor Apgar.

2.4  Peranan Puskesmas
 Puskesmas telah dikenal masyarakat se­­bagai tempat memperoleh layanan ke­se­hatan secara umum yang murah, se­der­hana, dan mudah terjangkau terutama ba­gi kalangan kurang mampu. Sejak pertama kali dicetuskan, puskesmas ditar­get­kan menjadi unit pelaksana teknis pe­la­yan­an tingkat pertama/terdepan dalam sis­tem kesehatan nasional. Maka dari itu, puskesmas juga menjadi salah satu mata rantai pelayanan kesehatan dalam upaya menurunkan angka kematian ibu melalui program-programnya yang mengacu pada empat pilar Safe Motherhood. Dalam pilar pelayanan obstetri esensial, puskesmas menekankan kebijakan berupa3:
1.      Memberikan pelayanan kesehatan un­tuk semua macam penyakit obstetri
2.      Khusus untuk obstetri harus mampu melakukan:
a)      Pelayanan obstetri esensial darurat (POED)
·         Melakukan pertolongan persa­linan sungsang
·         Melakukan pertolongan persa­lin­an vakum ekstraksi
·         Melakukan plasenta manual
·         Memasang infus dan membe­ri­kan obat parenteral
·         Meneruskan sistem rujukan bi­la fasilitas tidak memadai
b)      Pelayanan Obstetri dan Neonatus Esensial Darurat (PONED)Merupakan pelayanan POED di­tambah dengan melakukan pe­la­yan­­an neonatus yang mengalami as­fiksia ringan, sedang, dan berat. Bila tidak memungkinkan, segera melakukan rujukan.
c)      Melaksanakan konsep sayang ibu dan sayang bayi.                        
            Secara keseluruhan, keempat tonggak tersebut merupakan bagian dari pelayanan kesehatan primer. Dua di antaranya, yaitu asuhan ante-natal dan persalinan bersih dan aman, merupakan bagian dari pelayanan kebidanan dasar. Sebagai dasar/fondasi yang dibutuhkan untuk menca-pai keberhasilan upaya ini adalah pemberdayaan wanita.3



DAFTAR PUSTAKA
1.      Unicef Indonesia. Ringkasan kajian : Kesehatan Ibu & Anak, Oktober 2012. Available at : http://www.unicef.org/indonesia/id/A5_-_B_Ringkasan_Kajian_Kesehatan_REV.pdf. [Accessed  on 30 June 2016].
2.   World Health Organization. Essential Obstetric Care. Available at : http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs245/en/. [Accessed  on 4 July 2016].
3.      Stanton ME, Koblinsky M. Essential Obstetric Care and Subsets - Basic and Emergency Obstetric Care: What’s the Difference? Available at : http://www.jsi.com/intl/mothercare. [Accessed on 4 July 2016].
4.      Departemen Kesehatan RI,Setiap Jam 2 Orang Ibu Bersalin Meninggal Dunia. Available at :  http: //www.depkes.go.id/index.php?option =news&task= viewarticle&sid=448&Itemid=2.
5.      Purnomo W. Presentasi Safe motherhood (Upaya Penurunan Kematian Ibu dan Bayi Baru Lahir), FKM Unair; 2006
  1. Adisasmita A, Deviany PE, Nandiaty F, Stanton C, Ronsmans C. Obstetric near miss and deaths in public and private hospitals in Indonesia. BMC Pregnancy and Childbirth. 2008;8.
  2. World Health Organization (WHO). Monitoring Emergency Obstetric Care: A Handbook. Geneva: WHO; 2009.
  3. Malkin RA. Barriers for medical devices for the developing world. Expert Review of Medical Devices. 2007;4(6):759–763.
  4. Program for Appropriate Technology in Health Oraganization. Comprehensif Emergency Obstetric Care. Available at: http://sites.path.org/mnhtech/files/2013/08/cEmOC_FINAL_5May2013.pdf. Accessed July 1st 2016.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SURAT LAMARAN KERJA BIDAN

  Bandar Lampung, …………….. Hal : Lamaran Pekerjaan   Kepada Yth. …………….. di- Tempat Dengan hormat,         Sehubungan d...